Ilustrasi visual perbedaan skala populasi kedua negara.
Indonesia dan Tiongkok, dua raksasa Asia, memiliki dinamika populasi yang sangat berbeda, baik dari segi jumlah absolut maupun laju pertumbuhannya. Membandingkan jumlah penduduk Indonesia dan China memberikan perspektif penting mengenai tantangan demografi, potensi ekonomi, dan posisi geopolitik kedua negara di panggung dunia.
Secara kuantitatif, perbedaan antara kedua populasi ini sangat mencolok. Tiongkok, selama beberapa dekade, memegang status sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia, mendekati angka 1,4 miliar jiwa. Sementara itu, Indonesia, yang menempati urutan keempat secara global, memiliki populasi yang jauh lebih kecil, meskipun pertumbuhannya sangat signifikan dan terus bertambah, kini diperkirakan sudah melampaui angka 270 juta jiwa.
Ketika kita berbicara mengenai selisih lebih dari satu miliar jiwa, implikasinya terhadap sumber daya alam, infrastruktur, dan pasar tenaga kerja menjadi sangat besar. Populasi Tiongkok yang masif telah menjadi pendorong utama kebangkitan ekonominya, menyediakan tenaga kerja yang tak terbatas serta basis konsumen domestik yang sangat besar. Namun, skala ini juga membawa beban berat, terutama dalam hal penyediaan pangan, air bersih, dan penanganan polusi lingkungan.
Di sisi lain, Indonesia menikmati apa yang sering disebut sebagai bonus demografi. Meskipun jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan Tiongkok, komposisi usia penduduk Indonesia cenderung lebih muda. Ini berarti proporsi penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia tanggungan (anak-anak dan lansia). Jika dikelola dengan baik melalui investasi di bidang pendidikan dan kesehatan, bonus demografi ini dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang kuat di masa mendatang.
Salah satu poin paling krusial dalam perbandingan ini adalah tren pertumbuhan. Tiongkok saat ini sedang menghadapi tantangan penurunan populasi. Setelah menerapkan kebijakan yang sangat ketat di masa lalu, negara tersebut kini menghadapi tingkat kelahiran yang sangat rendah. Data terbaru menunjukkan bahwa populasi Tiongkok mulai menyusut, sebuah fenomena yang memiliki implikasi serius terhadap pasar tenaga kerja jangka panjang dan sistem pensiun mereka.
Sebaliknya, pertumbuhan populasi Indonesia masih positif, meskipun laju pertumbuhannya telah melambat dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Pemerintah Indonesia masih fokus pada program Keluarga Berencana (KB) untuk mengendalikan laju pertambahan penduduk agar tetap sejalan dengan kemampuan negara dalam menyediakan layanan publik dan lapangan kerja. Fokus utama Indonesia adalah memastikan kualitas pertumbuhan penduduk, bukan hanya kuantitasnya.
Distribusi geografis penduduk juga berbeda signifikan. Di Tiongkok, konsentrasi penduduk sangat tinggi di wilayah pesisir timur dan dataran subur. Urbanisasi telah menyebabkan megapolitan yang luar biasa besar, tetapi juga menciptakan ketimpangan regional antara wilayah pesisir yang maju dengan wilayah pedalaman yang masih tertinggal.
Indonesia, sebagai negara kepulauan, menghadapi tantangan distribusi yang unik. Mayoritas penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, yang meskipun luasnya relatif kecil, menampung lebih dari separuh total populasi negara. Ketimpangan ini mendorong kebijakan pemerataan pembangunan ke wilayah luar Jawa. Perbandingan populasi ini menyoroti kebutuhan Indonesia untuk mengelola kepadatan di pulau utamanya sambil mengembangkan kapasitas di pulau-pulau lain.
Kesimpulannya, sementara Tiongkok bergumul dengan populasi yang menua dan menyusut setelah mencapai puncaknya, Indonesia masih berada di fase pertumbuhan yang lebih muda, meskipun perlu berhati-hati agar bonus demografi ini benar-benar termanfaatkan. Kedua negara ini menawarkan studi kasus yang menarik tentang bagaimana skala populasi yang berbeda mempengaruhi lintasan pembangunan nasional di abad ke-21.