Wacana pemekaran jumlah provinsi di Indonesia bukan merupakan hal baru. Isu ini sering muncul, terutama di wilayah-wilayah yang dianggap memiliki potensi besar untuk berkembang atau yang merasa kurang terlayani oleh pemerintah daerah induknya. Namun, setiap gagasan pemekaran haruslah dilihat secara komprehensif dan, yang paling krusial, harus berada dalam kerangka konstitusional dan strategis negara kesatuan Republik Indonesia.
Dasar filosofis Indonesia adalah Negara Kesatuan (NKRI). Prinsip ini menuntut bahwa setiap kebijakan administratif, termasuk pembentukan daerah otonom baru, tidak boleh mengancam integritas teritorial dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, pemekaran wilayah tidak bisa hanya didasarkan pada aspirasi lokal semata atau pertimbangan politik sesaat. Harus ada justifikasi yang kuat bahwa pemekaran tersebut akan benar-benar meningkatkan pelayanan publik, mempercepat pembangunan, dan menjaga stabilitas keamanan, tanpa mengorbankan tujuan nasional yang lebih besar.
Aspek Legal dan Prinsip NKRI
Secara yuridis, pemekaran wilayah diatur melalui undang-undang, yang mana prosesnya melibatkan evaluasi mendalam oleh pemerintah pusat, termasuk Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ini memastikan bahwa prosesnya terstandardisasi dan meminimalisir potensi konflik kepentingan. Kerangka negara mensyaratkan bahwa pemekaran harus memenuhi syarat objektif (seperti luas wilayah, jumlah penduduk, potensi ekonomi) dan syarat subjektif (persetujuan masyarakat dan DPRD).
Visualisasi hubungan struktural dalam kerangka negara kesatuan.
Potensi Keuntungan dan Risiko Kegagalan
Pendukung pemekaran sering menyoroti peningkatan aksesibilitas layanan pemerintah, yang seharusnya lebih dekat dengan masyarakat di wilayah yang luas. Ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal karena alokasi anggaran daerah menjadi lebih fokus dan responsif terhadap kebutuhan spesifik wilayah tersebut. Daerah baru diharapkan dapat mengelola potensi sumber daya alamnya secara lebih optimal tanpa terhambat birokrasi induk yang mungkin jauh secara geografis.
Namun, risiko di balik pemekaran yang tergesa-gesa sangat nyata. Risiko utama adalah munculnya provinsi "bantalan" atau provinsi yang secara ekonomi tidak mampu mandiri dan hanya akan menjadi beban fiskal bagi negara. Indonesia telah memiliki pengalaman di masa lalu di mana beberapa daerah otonom baru menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan belanja rutin mereka, sehingga ketergantungan pada transfer dana pusat menjadi sangat tinggi. Hal ini justru bisa melemahkan efisiensi fiskal nasional.
Pentingnya Kajian Kesiapan Daerah Induk
Kerangka negara mengharuskan bahwa pemekaran tidak boleh dilihat sebagai upaya untuk 'memecah belah' sumber daya yang ada. Sebaliknya, harus dipastikan bahwa daerah induk mampu mempertahankan kapasitas administratif dan fiskalnya setelah wilayahnya berkurang. Jika pemekaran menyebabkan daerah induk jatuh ke dalam kesulitan finansial atau administratif, maka tujuan utama otonomi daerah—yaitu memperkuat Negara Kesatuan melalui desentralisasi—akan gagal tercapai.
Oleh karena itu, setiap rencana pemekaran harus melalui uji tuntas yang ketat. Uji tuntas ini tidak hanya mengenai angka populasi dan luas wilayah, tetapi juga mengenai kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur pemerintahan yang memadai, dan kepastian sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berkelanjutan. Pemekaran harus menjadi instrumen untuk pemerataan dan kemajuan, bukan hanya sekadar pemenuhan ambisi politik elit lokal.
Kesimpulannya, pemekaran jumlah provinsi adalah opsi kebijakan yang sah dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, tetapi harus selalu diposisikan tegak lurus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepentingan nasional, stabilitas fiskal, dan kesinambungan pelayanan publik harus menjadi prioritas utama di atas semua pertimbangan sektoral atau regional.