Pelonco: Tradisi, Dampak, dan Perspektif Modern

Ilustrasi Pelonco vs Orientasi Positif Sisi kiri menampilkan figur yang tertekan dengan warna merah, merepresentasikan pelonco. Sisi kanan menampilkan dua figur saling mendukung dengan warna hijau, merepresentasikan orientasi positif atau dukungan komunitas. PELONCO vs. ORIENTASI POSITIF

Ilustrasi perbandingan antara praktik pelonco yang menekan dan orientasi positif yang mendukung.

Tradisi "pelonco" atau perploncoan adalah fenomena sosial yang sudah mengakar di berbagai institusi pendidikan dan militer di Indonesia. Meskipun sering diklaim sebagai sarana untuk membentuk karakter, kedisiplinan, dan solidaritas, praktik ini juga tidak jarang menyisakan jejak trauma, luka fisik, hingga tragedi yang merenggut nyawa. Perdebatan seputar relevansi dan legitimasi pelonco terus berlangsung, memunculkan pertanyaan mendasar tentang batas antara pendidikan karakter dan penyalahgunaan kekuasaan.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk pelonco, mulai dari akar sejarahnya, berbagai bentuk dan motivasi di baliknya, dampak-dampak yang ditimbulkan baik secara fisik maupun psikologis, tinjauan dari perspektif hukum dan etika, hingga upaya-upaya konstruktif untuk menggantikan praktik ini dengan sistem orientasi yang lebih beradab dan memberdayakan. Pemahaman yang komprehensif tentang pelonco adalah langkah awal untuk mendorong perubahan menuju lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan produktif bagi setiap individu.

Sejarah dan Evolusi Pelonco di Indonesia

Untuk memahami kompleksitas pelonco saat ini, kita perlu menelusuri akar sejarahnya yang panjang dan berkelok. Praktik-praktik inisiasi atau pengujian bagi anggota baru sejatinya bukanlah hal baru dalam peradaban manusia. Dalam berbagai budaya, ritual semacam ini digunakan untuk menandai transisi dari satu status ke status lain, menguji ketahanan, atau menanamkan nilai-nilai kelompok. Namun, "pelonco" dalam konteks modern, khususnya di Indonesia, memiliki sejarah yang lebih spesifik.

Akar kuat pelonco di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan militer Eropa, terutama pada masa kolonial Belanda. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial, seperti sekolah-sekolah elite atau akademi militer, sering kali menerapkan praktik-praktik inisiasi yang keras. Tujuannya adalah untuk membentuk mental baja, loyalitas tanpa batas, dan kedisiplinan yang tinggi, yang dianggap esensial bagi kader-kader yang akan mengisi posisi strategis dalam administrasi kolonial atau militer.

Praktik ini kemudian meresap dan ditiru oleh institusi-institusi pendidikan di Hindia Belanda, termasuk sekolah menengah dan perguruan tinggi. Para senior mengadopsi pola-pola perlakuan yang mereka terima dari para pendahulu atau yang mereka saksikan dalam institusi militer. Hal ini menciptakan sebuah tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, di mana setiap angkatan baru harus melewati "ujian" serupa untuk membuktikan kelayakan dan menerima pengakuan dari angkatan senior.

Setelah kemerdekaan, meskipun semangat nasionalisme dan egalitarianisme menguat, tradisi pelonco tidak serta-merta hilang. Sebaliknya, ia mengalami adaptasi dan terus bertahan, terutama di lingkungan militer, kepolisian, dan beberapa perguruan tinggi. Beberapa pihak berargumen bahwa pelonco menjadi cara untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan, kekompakan, dan pengorbanan, seolah-olah menyimulasikan tantangan yang dihadapi bangsa di masa lalu. Namun, tanpa pengawasan dan batasan yang jelas, praktik ini sering kali melenceng dari tujuan mulia tersebut.

Evolusi pelonco menunjukkan pergeseran dari ritual inisiasi yang lebih simbolis, menjadi praktik yang semakin melibatkan tekanan fisik dan psikologis yang signifikan. Dulu, mungkin hanya sebatas tugas-tugas aneh atau atribut yang tidak biasa. Namun, seiring waktu, skala dan intensitasnya meningkat, kadang mencapai titik yang membahayakan. Perubahan ini juga dipicu oleh kurangnya regulasi yang ketat dan seringnya praktik ini dibiarkan sebagai bagian dari "otonomi" institusi atau "tradisi" yang tidak boleh diganggu gugat. Pembiaran ini memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan dan ego senior untuk mendominasi, mengubah pelonco menjadi bentuk kekerasan terselubung yang mengancam keselamatan dan martabat peserta didik baru.

Mendefinisikan Pelonco: Lebih dari Sekadar Orientasi

Seringkali, istilah "pelonco" dicampuradukkan dengan "orientasi mahasiswa baru" atau "masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS)". Padahal, ada perbedaan fundamental yang memisahkan keduanya. Orientasi yang positif bertujuan untuk membantu peserta didik baru beradaptasi, mengenal lingkungan, fasilitas, sistem akademik, dan budaya institusi secara konstruktif dan suportif. Sebaliknya, pelonco dicirikan oleh elemen-elemen paksaan, tekanan, intimidasi, hingga kekerasan yang bertujuan untuk menundukkan, menguji secara berlebihan, atau sekadar balas dendam.

Ciri Khas Pelonco yang Membedakan

Beberapa ciri khas yang dapat membantu kita membedakan pelonco dari kegiatan orientasi yang sehat meliputi:

  1. Hierarki dan Dominasi: Ada penekanan kuat pada perbedaan status antara senior dan junior, di mana senior memegang kendali mutlak dan junior diharapkan tunduk tanpa bantahan.
  2. Tugas dan Atribut Aneh: Peserta didik baru sering diwajibkan melakukan tugas-tugas yang tidak relevan dengan pendidikan atau mengenakan atribut yang memalukan atau tidak praktis.
  3. Tekanan Fisik dan Mental: Melibatkan aktivitas fisik yang berlebihan, kurang tidur, pola makan tidak teratur, intimidasi verbal, ejekan, atau ancaman.
  4. Pembatasan Kebebasan: Kebebasan berbicara, berekspresi, atau bahkan bergerak sering dibatasi, menciptakan rasa takut dan ketidakberdayaan.
  5. Kerahasiaan dan Omerta: Ada tekanan kuat agar peserta didik baru tidak menceritakan apa yang terjadi selama pelonco kepada pihak luar, bahkan kepada orang tua atau pihak berwenang. Ini sering disebut "kode etik" atau "solidaritas angkatan" yang dipaksakan.
  6. Tidak Ada Nilai Edukasi Jelas: Banyak kegiatan pelonco tidak memiliki tujuan edukasi yang jelas dan terukur, bahkan cenderung kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan.

Pelonco sejatinya merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Para senior, yang seharusnya menjadi mentor dan panutan, menggunakan posisi mereka untuk menekan dan bahkan menyakiti junior. Motivasi di baliknya bisa bermacam-macam, mulai dari niat yang salah kaprah untuk "mendidik" atau "membentuk karakter", hingga dorongan ego, balas dendam atas pengalaman yang sama di masa lalu, atau sekadar kesenangan semu atas dominasi. Praktik ini menciptakan lingkaran setan kekerasan, di mana korban yang hari ini diperlakukan tidak manusiawi, bisa jadi akan melakukan hal yang sama kepada juniornya di masa depan.

Memahami perbedaan ini sangat krusial. Orientasi yang positif berpusat pada kesejahteraan dan pengembangan peserta didik baru. Ini adalah proses inklusif yang mempersiapkan mereka untuk sukses dalam lingkungan baru. Sebaliknya, pelonco adalah praktik eksklusif yang memecah belah, menciptakan ketakutan, dan merusak potensi individu bahkan sebelum mereka memulai perjalanan pendidikannya. Membedakan keduanya adalah langkah pertama untuk memberantas praktik pelonco dan mendorong lingkungan yang lebih sehat dan suportif.

Ragaman Bentuk Pelonco: Dari Fisik hingga Psikologis

Praktik pelonco tidak hanya terbatas pada satu bentuk kekerasan saja. Ia memiliki spektrum yang luas, mulai dari tindakan yang kasat mata dan merusak fisik, hingga intimidasi yang halus namun menghancurkan mental. Pemahaman akan berbagai bentuk ini penting untuk mengenali dan mencegahnya.

1. Pelonco Fisik

Pelonco fisik adalah bentuk yang paling mudah dikenali dan seringkali paling cepat menimbulkan korban. Bentuk ini melibatkan penggunaan kekuatan fisik atau paksaan yang mengakibatkan rasa sakit, cedera, atau kelelahan ekstrem. Contoh-contohnya meliputi:

Dampak dari pelonco fisik bisa sangat serius, dari luka memar, patah tulang, hingga gagal ginjal akut akibat dehidrasi, dan dalam kasus terburuk, bahkan kematian.

2. Pelonco Mental atau Psikologis

Bentuk pelonco ini seringkali lebih sulit dideteksi karena tidak meninggalkan bekas fisik, namun dampaknya bisa jauh lebih merusak dan bertahan lama. Pelonco psikologis bertujuan untuk menekan mental, menghancurkan kepercayaan diri, dan menciptakan rasa takut serta ketidakberdayaan.

Dampak psikologis dari pelonco dapat berupa trauma, depresi, gangguan kecemasan, fobia sosial, hingga gangguan stres pasca-trauma (PTSD) yang bisa menghantui korban bertahun-tahun kemudian.

3. Pelonco Simbolik dan Sosial

Meskipun mungkin terlihat lebih ringan, bentuk pelonco ini juga berkontribusi pada penciptaan lingkungan yang menekan dan tidak sehat.

Bentuk-bentuk ini, meskipun tidak secara langsung melukai fisik, berkontribusi pada dehumanisasi peserta dan memperkuat budaya hierarki yang tidak sehat. Mereka bisa menjadi pintu gerbang menuju bentuk pelonco yang lebih parah jika tidak ada batasan yang jelas.

Penting untuk diingat bahwa batas antara "disiplin" dan "kekerasan" dalam pelonco seringkali kabur di mata pelaku. Namun, jika suatu tindakan menimbulkan ketakutan, rasa sakit, penghinaan, atau mengancam keselamatan dan martabat individu, maka itu sudah masuk kategori kekerasan, bukan lagi pembinaan atau pendidikan.

Motivasi dan Psikologi di Balik Tindakan Perpeloncoan

Memahami mengapa praktik pelonco terus ada, meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dan korban, membutuhkan analisis terhadap motivasi dan dinamika psikologis yang melatarinya. Para pelaku, yang umumnya adalah angkatan senior, seringkali memiliki alasan yang mereka anggap valid, meskipun alasan-alasan tersebut seringkali berakar pada pemahaman yang keliru atau penyalahgunaan kekuasaan.

1. Klaim Pembentukan Karakter dan Kedisiplinan

Ini adalah alasan paling umum yang selalu dikemukakan. Pelaku percaya bahwa melalui tekanan dan kesulitan yang diberikan, junior akan terbentuk menjadi pribadi yang lebih disiplin, tangguh, patuh, dan memiliki mental baja. Mereka berpendapat bahwa "kerasnya" proses pelonco adalah simulasi dari "kerasnya" dunia nyata atau tuntutan profesi di masa depan. Dalam pandangan mereka, tantangan ini akan mengikis sifat manja dan menyiapkan mental untuk menghadapi tekanan yang lebih besar. Namun, seringkali mereka gagal membedakan antara disiplin konstruktif dengan hukuman sewenang-wenang.

2. Menciptakan Solidaritas dan Kekompakan Angkatan

Para pelaku sering berargumen bahwa penderitaan bersama selama pelonco akan menciptakan ikatan yang kuat dan rasa solidaritas yang tak tergoyahkan antar anggota angkatan baru. Mereka percaya bahwa dengan melewati "neraka" yang sama, junior akan memiliki rasa persaudaraan yang mendalam, saling mendukung, dan loyal terhadap kelompoknya. Meskipun ikatan dapat terbentuk dalam menghadapi kesulitan, metode pelonco yang penuh tekanan justru seringkali menimbulkan trauma kolektif atau memecah belah, bukan menyatukan dalam arti positif.

3. Mewariskan Tradisi dan Budaya Institusi

Di banyak institusi, pelonco dipandang sebagai "tradisi" yang harus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ada keyakinan bahwa praktik ini adalah bagian integral dari identitas dan budaya institusi, dan bahwa melanggarnya berarti tidak menghormati para pendahulu. Rasa hormat terhadap tradisi ini seringkali menjadi tekanan bagi para senior untuk melanjutkan siklus, bahkan jika mereka sendiri pernah menjadi korban yang tidak nyaman dengan praktik tersebut. Mereka merasa bertanggung jawab untuk menjaga "kemurnian" tradisi yang telah mereka terima.

4. Siklus Balas Dendam dan Pembalasan

Salah satu motivasi yang paling gelap adalah siklus balas dendam. Para senior yang pernah menjadi korban pelonco yang keras di masa lalu, mungkin merasa berhak atau bahkan wajib untuk melakukan hal yang sama kepada junior mereka. Ada pemikiran bahwa "saya dulu juga mengalami, jadi kamu juga harus merasakan." Ini adalah manifestasi dari trauma yang tidak terproses dan keinginan untuk melampiaskan penderitaan yang pernah dialami, mengubah korban menjadi pelaku dalam lingkaran kekerasan yang tiada akhir.

5. Penyalahgunaan Kekuasaan dan Ego

Posisi sebagai senior memberikan rasa kekuasaan yang bisa memabukkan. Bagi sebagian individu, pelonco menjadi ajang untuk melampiaskan ego, menunjukkan dominasi, dan merasakan superioritas atas orang lain. Mereka menikmati kontrol mutlak atas junior, dan situasi ini memberikan rasa berharga atau kekuatan yang mungkin tidak mereka dapatkan di konteks lain. Ini adalah bentuk penyalahgunaan otoritas yang seringkali didorong oleh insecurity pribadi atau kebutuhan untuk merasa superior.

6. Tekanan Kelompok dan Ketakutan Akan Stigma

Tidak semua senior yang terlibat dalam pelonco benar-benar ingin melakukannya. Banyak yang merasa tertekan oleh teman sebaya atau kelompok angkatan untuk berpartisipasi. Ketakutan akan dikucilkan, dianggap lemah, atau tidak loyal terhadap angkatan seringkali memaksa mereka untuk mengikuti arus, bahkan jika hati nurani mereka menolak. Tekanan kelompok ini bisa sangat kuat, dan individu seringkali menekan suara hati mereka demi diterima dalam kelompok.

7. Minimnya Pengawasan dan Sanksi yang Tegas

Faktor eksternal juga berperan. Jika institusi tidak memiliki regulasi yang jelas, pengawasan yang efektif, atau sanksi yang tegas terhadap pelaku pelonco, maka praktik ini akan terus berlanjut. Kurangnya konsekuensi hukum atau administratif memberikan rasa aman bagi para pelaku untuk melanjutkan tindakan mereka tanpa rasa takut. Kebijakan yang ambigu atau penegakan yang lemah secara tidak langsung membenarkan dan melanggengkan praktik pelonco.

Memahami motivasi ini bukan berarti membenarkan tindakan pelonco. Sebaliknya, hal ini membantu kita merancang strategi pencegahan yang lebih efektif, tidak hanya dengan menghukum pelaku, tetapi juga dengan mengubah pola pikir, mengedukasi tentang bahaya pelonco, dan menawarkan alternatif yang lebih sehat dan konstruktif untuk mencapai tujuan-tujuan yang diklaim (seperti disiplin dan solidaritas).

Dampak Pelonco: Luka yang Tak Terlihat dan Terasa

Dampak pelonco jauh lebih luas dan mendalam daripada yang seringkali disadari. Korban tidak hanya mengalami penderitaan sesaat, tetapi seringkali harus menanggung konsekuensi jangka panjang yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan mereka. Memahami dampak ini adalah kunci untuk menggarisbawahi urgensi penghentian praktik pelonco.

1. Dampak Fisik

Dampak fisik adalah yang paling langsung terlihat dan seringkali menjadi pemicu berita di media massa. Kekerasan fisik selama pelonco dapat menyebabkan:

Luka fisik ini tidak hanya menyisakan bekas di tubuh, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis yang mendalam bagi korban.

2. Dampak Psikologis Jangka Pendek

Segera setelah atau selama pelonco, korban dapat mengalami berbagai masalah psikologis:

3. Dampak Psikologis Jangka Panjang

Jika trauma tidak diatasi dengan baik, dampak psikologis pelonco bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan seumur hidup:

4. Dampak Sosial dan Akademis/Profesional

Selain dampak pribadi, pelonco juga membawa konsekuensi pada interaksi sosial dan jalur pendidikan/karier:

5. Mempertanyakan Klaim Dampak Positif

Para pendukung pelonco sering mengklaim bahwa praktik ini membentuk disiplin, mental kuat, dan solidaritas. Namun, para ahli psikologi dan pendidikan sangat meragukan klaim ini. Disiplin yang dipaksakan melalui ketakutan dan kekerasan cenderung bersifat sementara dan tidak menumbuhkan kesadaran diri. Mental "kuat" yang terbentuk seringkali adalah mental yang kebal terhadap penderitaan orang lain atau justru mudah menindas. Solidaritas yang terjalin karena trauma bersama adalah ikatan yang rapuh dan bisa berubah menjadi rasa benci atau balas dendam.

Pengembangan karakter dan kedisiplinan yang sejati harus didasarkan pada prinsip-prinsip positif, seperti penghargaan, tanggung jawab, empati, dan bimbingan yang konstruktif, bukan melalui penyiksaan atau penghinaan. Dampak negatif pelonco jauh melampaui potensi "manfaat" yang diklaim, menjadikannya praktik yang merugikan dan tidak etis.

Aspek Hukum dan Etika Perpeloncoan

Meskipun praktik pelonco telah berlangsung lama, tidak berarti praktik tersebut legal atau etis. Dari perspektif hukum dan etika, pelonco adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan seringkali dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana. Institusi pendidikan, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan peserta didiknya, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk mencegah dan menindak praktik ini.

1. Pelonco dalam Kacamata Hukum Indonesia

Di Indonesia, tidak ada undang-undang khusus yang secara eksplisit menyebut "pelonco" sebagai tindak pidana. Namun, banyak aspek dari praktik pelonco dapat dijerat oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang ada:

Meskipun penegakan hukum terhadap kasus pelonco seringkali menghadapi tantangan, terutama karena tekanan untuk "menyelesaikan secara internal" atau kurangnya bukti, kerangka hukum yang ada sudah cukup kuat untuk menindak pelaku jika ada kemauan politik dan keberanian korban untuk melapor.

2. Tanggung Jawab Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan—sekolah, kampus, atau akademi—memiliki tanggung jawab moral dan hukum yang besar terhadap keselamatan dan kesejahteraan seluruh komunitasnya, terutama peserta didik. Tanggung jawab ini mencakup:

Kelalaian institusi dalam melaksanakan tanggung jawab ini dapat menyebabkan mereka dianggap turut bertanggung jawab secara hukum, terutama jika ada korban jiwa atau cedera serius.

3. Aspek Etika dan Hak Asasi Manusia

Dari sudut pandang etika, pelonco adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Setiap individu memiliki hak untuk:

Praktik pelonco secara fundamental bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pendidikan. Ini merusak integritas individu, mengikis empati, dan menormalisasi kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebuah institusi yang membiarkan pelonco berarti telah gagal dalam misi dasarnya untuk membentuk manusia yang beradab dan berintegritas.

Studi Kasus dan Perdebatan Publik

Sejarah Indonesia diwarnai oleh berbagai kasus pelonco yang mencuat ke permukaan, menciptakan gelombang perdebatan publik, dan seringkali berakhir tragis. Meskipun seringkali berakhir tanpa kejelasan hukum atau hanya dengan sanksi ringan, kasus-kasus ini berfungsi sebagai pengingat pahit akan bahaya laten praktik perpeloncoan.

Pola Umum Kasus Pelonco

Kasus-kasus pelonco yang terekspos ke publik sering menunjukkan pola serupa:

Setiap kali kasus pelonco mencuat, respons publik biasanya terbagi. Satu sisi mengecam keras, menuntut keadilan, dan mendesak reformasi total. Sisi lain, meskipun minoritas, mungkin mencoba membela praktik tersebut dengan dalih "pembentukan karakter" atau "tradisi", seringkali meremehkan penderitaan korban. Perdebatan ini menggarisbawahi betapa sulitnya mengubah pola pikir yang sudah mengakar.

Peran Media dan Reaksi Pemerintah

Media massa memainkan peran krusial dalam mengungkap kasus-kasus pelonco. Liputan yang intensif seringkali menjadi katalisator bagi reaksi pemerintah dan publik. Tanpa media, banyak kasus mungkin akan terkubur tanpa jejak. Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, seringkali mengeluarkan peringatan keras, instruksi pelarangan, dan kadang-kadang sanksi kepada institusi yang terbukti lalai.

Meskipun demikian, tantangan dalam penegakan aturan tetap besar. Banyak institusi yang masih bersembunyi di balik dalih "tradisi" atau "otonomi", mempersulit upaya pemerintah untuk mengintervensi secara efektif. Sanksi yang diberikan kepada pelaku juga seringkali dirasa tidak setimpal, memunculkan frustrasi di kalangan masyarakat yang mendambakan keadilan.

Perdebatan tentang Batas "Disiplin" dan "Kekerasan"

Salah satu inti perdebatan publik adalah di mana batas antara "disiplin" yang wajar dan "kekerasan" yang tidak dapat diterima. Para pendukung pelonco berargumen bahwa sedikit tekanan atau ketidaknyamanan adalah bagian dari proses pembentukan mental. Namun, garis merahnya harus jelas: jika suatu tindakan menimbulkan rasa takut, penderitaan, penghinaan, atau merusak kesehatan fisik maupun mental, itu sudah melewati batas disiplin dan masuk kategori kekerasan.

Masyarakat semakin menyadari bahwa tidak ada manfaat positif yang dapat diperoleh dari kekerasan. Disiplin sejati tumbuh dari kesadaran diri dan penghargaan terhadap aturan, bukan dari ketakutan akan hukuman. Solidaritas yang kuat terbangun dari rasa saling menghormati dan dukungan, bukan dari penderitaan yang dipaksakan. Pergeseran paradigma ini adalah kunci untuk mengakhiri perdebatan yang tidak produktif dan bergerak menuju solusi yang lebih manusiawi.

Membangun Budaya Orientasi yang Konstruktif dan Positif

Mengakhiri praktik pelonco bukan berarti menghapus masa orientasi. Sebaliknya, ini adalah kesempatan untuk menciptakan sistem orientasi yang jauh lebih efektif, konstruktif, dan sesuai dengan nilai-nilai pendidikan modern. Orientasi positif bertujuan untuk memberdayakan peserta didik baru, membantu mereka beradaptasi, dan menginspirasi mereka untuk menjadi anggota komunitas yang produktif dan bertanggung jawab.

Prinsip-prinsip Orientasi Positif

Orientasi yang konstruktif harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:

  1. Inklusif dan Ramah: Semua peserta merasa diterima, aman, dan nyaman tanpa memandang latar belakang.
  2. Edukatif dan Informatif: Memberikan informasi yang relevan dan berguna tentang institusi, kurikulum, fasilitas, dan sumber daya yang tersedia.
  3. Pengembangan Diri: Fokus pada pengembangan keterampilan lunak (soft skills), kepemimpinan, kerja sama tim, dan pemecahan masalah.
  4. Partisipatif dan Interaktif: Melibatkan peserta secara aktif dalam kegiatan yang menyenangkan dan bermakna.
  5. Menghargai Martabat: Tidak ada ruang untuk penghinaan, intimidasi, atau perlakuan yang merendahkan.
  6. Transparan dan Akuntabel: Program diumumkan secara jelas, dengan tujuan yang terukur, dan ada pengawasan dari pihak berwenang.

Alternatif Program Orientasi yang Inovatif

Ada banyak cara kreatif untuk mengganti pelonco dengan kegiatan yang bermanfaat:

🏠 Homepage