Pelonco: Tradisi, Dampak, dan Perspektif Modern
Ilustrasi perbandingan antara praktik pelonco yang menekan dan orientasi positif yang mendukung.
Tradisi "pelonco" atau perploncoan adalah fenomena sosial yang sudah mengakar di berbagai institusi pendidikan dan militer di Indonesia. Meskipun sering diklaim sebagai sarana untuk membentuk karakter, kedisiplinan, dan solidaritas, praktik ini juga tidak jarang menyisakan jejak trauma, luka fisik, hingga tragedi yang merenggut nyawa. Perdebatan seputar relevansi dan legitimasi pelonco terus berlangsung, memunculkan pertanyaan mendasar tentang batas antara pendidikan karakter dan penyalahgunaan kekuasaan.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk pelonco, mulai dari akar sejarahnya, berbagai bentuk dan motivasi di baliknya, dampak-dampak yang ditimbulkan baik secara fisik maupun psikologis, tinjauan dari perspektif hukum dan etika, hingga upaya-upaya konstruktif untuk menggantikan praktik ini dengan sistem orientasi yang lebih beradab dan memberdayakan. Pemahaman yang komprehensif tentang pelonco adalah langkah awal untuk mendorong perubahan menuju lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan produktif bagi setiap individu.
Sejarah dan Evolusi Pelonco di Indonesia
Untuk memahami kompleksitas pelonco saat ini, kita perlu menelusuri akar sejarahnya yang panjang dan berkelok. Praktik-praktik inisiasi atau pengujian bagi anggota baru sejatinya bukanlah hal baru dalam peradaban manusia. Dalam berbagai budaya, ritual semacam ini digunakan untuk menandai transisi dari satu status ke status lain, menguji ketahanan, atau menanamkan nilai-nilai kelompok. Namun, "pelonco" dalam konteks modern, khususnya di Indonesia, memiliki sejarah yang lebih spesifik.
Akar kuat pelonco di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan militer Eropa, terutama pada masa kolonial Belanda. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial, seperti sekolah-sekolah elite atau akademi militer, sering kali menerapkan praktik-praktik inisiasi yang keras. Tujuannya adalah untuk membentuk mental baja, loyalitas tanpa batas, dan kedisiplinan yang tinggi, yang dianggap esensial bagi kader-kader yang akan mengisi posisi strategis dalam administrasi kolonial atau militer.
Praktik ini kemudian meresap dan ditiru oleh institusi-institusi pendidikan di Hindia Belanda, termasuk sekolah menengah dan perguruan tinggi. Para senior mengadopsi pola-pola perlakuan yang mereka terima dari para pendahulu atau yang mereka saksikan dalam institusi militer. Hal ini menciptakan sebuah tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, di mana setiap angkatan baru harus melewati "ujian" serupa untuk membuktikan kelayakan dan menerima pengakuan dari angkatan senior.
Setelah kemerdekaan, meskipun semangat nasionalisme dan egalitarianisme menguat, tradisi pelonco tidak serta-merta hilang. Sebaliknya, ia mengalami adaptasi dan terus bertahan, terutama di lingkungan militer, kepolisian, dan beberapa perguruan tinggi. Beberapa pihak berargumen bahwa pelonco menjadi cara untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan, kekompakan, dan pengorbanan, seolah-olah menyimulasikan tantangan yang dihadapi bangsa di masa lalu. Namun, tanpa pengawasan dan batasan yang jelas, praktik ini sering kali melenceng dari tujuan mulia tersebut.
Evolusi pelonco menunjukkan pergeseran dari ritual inisiasi yang lebih simbolis, menjadi praktik yang semakin melibatkan tekanan fisik dan psikologis yang signifikan. Dulu, mungkin hanya sebatas tugas-tugas aneh atau atribut yang tidak biasa. Namun, seiring waktu, skala dan intensitasnya meningkat, kadang mencapai titik yang membahayakan. Perubahan ini juga dipicu oleh kurangnya regulasi yang ketat dan seringnya praktik ini dibiarkan sebagai bagian dari "otonomi" institusi atau "tradisi" yang tidak boleh diganggu gugat. Pembiaran ini memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan dan ego senior untuk mendominasi, mengubah pelonco menjadi bentuk kekerasan terselubung yang mengancam keselamatan dan martabat peserta didik baru.
Mendefinisikan Pelonco: Lebih dari Sekadar Orientasi
Seringkali, istilah "pelonco" dicampuradukkan dengan "orientasi mahasiswa baru" atau "masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS)". Padahal, ada perbedaan fundamental yang memisahkan keduanya. Orientasi yang positif bertujuan untuk membantu peserta didik baru beradaptasi, mengenal lingkungan, fasilitas, sistem akademik, dan budaya institusi secara konstruktif dan suportif. Sebaliknya, pelonco dicirikan oleh elemen-elemen paksaan, tekanan, intimidasi, hingga kekerasan yang bertujuan untuk menundukkan, menguji secara berlebihan, atau sekadar balas dendam.
Ciri Khas Pelonco yang Membedakan
Beberapa ciri khas yang dapat membantu kita membedakan pelonco dari kegiatan orientasi yang sehat meliputi:
- Hierarki dan Dominasi: Ada penekanan kuat pada perbedaan status antara senior dan junior, di mana senior memegang kendali mutlak dan junior diharapkan tunduk tanpa bantahan.
- Tugas dan Atribut Aneh: Peserta didik baru sering diwajibkan melakukan tugas-tugas yang tidak relevan dengan pendidikan atau mengenakan atribut yang memalukan atau tidak praktis.
- Tekanan Fisik dan Mental: Melibatkan aktivitas fisik yang berlebihan, kurang tidur, pola makan tidak teratur, intimidasi verbal, ejekan, atau ancaman.
- Pembatasan Kebebasan: Kebebasan berbicara, berekspresi, atau bahkan bergerak sering dibatasi, menciptakan rasa takut dan ketidakberdayaan.
- Kerahasiaan dan Omerta: Ada tekanan kuat agar peserta didik baru tidak menceritakan apa yang terjadi selama pelonco kepada pihak luar, bahkan kepada orang tua atau pihak berwenang. Ini sering disebut "kode etik" atau "solidaritas angkatan" yang dipaksakan.
- Tidak Ada Nilai Edukasi Jelas: Banyak kegiatan pelonco tidak memiliki tujuan edukasi yang jelas dan terukur, bahkan cenderung kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan.
Pelonco sejatinya merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Para senior, yang seharusnya menjadi mentor dan panutan, menggunakan posisi mereka untuk menekan dan bahkan menyakiti junior. Motivasi di baliknya bisa bermacam-macam, mulai dari niat yang salah kaprah untuk "mendidik" atau "membentuk karakter", hingga dorongan ego, balas dendam atas pengalaman yang sama di masa lalu, atau sekadar kesenangan semu atas dominasi. Praktik ini menciptakan lingkaran setan kekerasan, di mana korban yang hari ini diperlakukan tidak manusiawi, bisa jadi akan melakukan hal yang sama kepada juniornya di masa depan.
Memahami perbedaan ini sangat krusial. Orientasi yang positif berpusat pada kesejahteraan dan pengembangan peserta didik baru. Ini adalah proses inklusif yang mempersiapkan mereka untuk sukses dalam lingkungan baru. Sebaliknya, pelonco adalah praktik eksklusif yang memecah belah, menciptakan ketakutan, dan merusak potensi individu bahkan sebelum mereka memulai perjalanan pendidikannya. Membedakan keduanya adalah langkah pertama untuk memberantas praktik pelonco dan mendorong lingkungan yang lebih sehat dan suportif.
Ragaman Bentuk Pelonco: Dari Fisik hingga Psikologis
Praktik pelonco tidak hanya terbatas pada satu bentuk kekerasan saja. Ia memiliki spektrum yang luas, mulai dari tindakan yang kasat mata dan merusak fisik, hingga intimidasi yang halus namun menghancurkan mental. Pemahaman akan berbagai bentuk ini penting untuk mengenali dan mencegahnya.
1. Pelonco Fisik
Pelonco fisik adalah bentuk yang paling mudah dikenali dan seringkali paling cepat menimbulkan korban. Bentuk ini melibatkan penggunaan kekuatan fisik atau paksaan yang mengakibatkan rasa sakit, cedera, atau kelelahan ekstrem. Contoh-contohnya meliputi:
- Pukulan dan Kekerasan Langsung: Ini adalah bentuk yang paling ekstrem, meliputi tamparan, tendangan, pukulan, atau penggunaan benda untuk menyakiti.
- Aktivitas Fisik Berlebihan: Seperti lari tanpa henti, push-up atau sit-up dalam jumlah tak wajar, jongkok-berdiri berulang kali, atau memanggul beban berat di luar batas kemampuan.
- Kurang Tidur dan Kurang Istirahat: Peserta didik baru dipaksa begadang atau bangun sangat pagi dengan aktivitas padat, menyebabkan kelelahan akut yang membahayakan kesehatan.
- Pembatasan Asupan Makanan dan Minuman: Mencegah peserta didik baru makan atau minum sesuai kebutuhan, atau memaksa mereka mengonsumsi makanan/minuman yang tidak layak.
- Paparan Lingkungan Ekstrem: Memaksa peserta berada di bawah terik matahari terlalu lama, atau di tempat dingin tanpa perlindungan yang memadai, berpotensi menyebabkan dehidrasi, hipotermia, atau heatstroke.
- Siksaan Fisik Lainnya: Seperti memandikan dengan air dingin di malam hari, merayap di tanah berlumpur, atau dilempari benda-benda ringan yang menimbulkan rasa sakit.
Dampak dari pelonco fisik bisa sangat serius, dari luka memar, patah tulang, hingga gagal ginjal akut akibat dehidrasi, dan dalam kasus terburuk, bahkan kematian.
2. Pelonco Mental atau Psikologis
Bentuk pelonco ini seringkali lebih sulit dideteksi karena tidak meninggalkan bekas fisik, namun dampaknya bisa jauh lebih merusak dan bertahan lama. Pelonco psikologis bertujuan untuk menekan mental, menghancurkan kepercayaan diri, dan menciptakan rasa takut serta ketidakberdayaan.
- Intimidasi Verbal: Berupa bentakan, makian, ejekan, penghinaan, atau ancaman. Hal ini dilakukan untuk membuat peserta merasa rendah diri dan takut.
- Pelecehan Emosional: Membuat peserta menangis, merasa bersalah, atau dipermalukan di depan umum.
- Isolasi Sosial: Melarang peserta berinteraksi dengan orang lain, termasuk teman seangkatan atau pihak di luar kelompok pelonco, menciptakan perasaan kesepian dan keterasingan.
- Manipulasi Psikologis: Memaksa peserta mengakui kesalahan yang tidak mereka lakukan, atau menciptakan situasi di mana mereka merasa selalu salah.
- Pengawasan Ketat dan Pembatasan Kebebasan: Setiap gerak-gerik diawasi, setiap keputusan harus mendapat izin senior, membuat peserta merasa kehilangan kontrol atas hidup mereka.
- Pemberian Tugas Tidak Logis: Memaksa peserta melakukan tugas yang sia-sia, tidak masuk akal, atau hanya bertujuan untuk membuat mereka frustrasi dan kelelahan mental.
Dampak psikologis dari pelonco dapat berupa trauma, depresi, gangguan kecemasan, fobia sosial, hingga gangguan stres pasca-trauma (PTSD) yang bisa menghantui korban bertahun-tahun kemudian.
3. Pelonco Simbolik dan Sosial
Meskipun mungkin terlihat lebih ringan, bentuk pelonco ini juga berkontribusi pada penciptaan lingkungan yang menekan dan tidak sehat.
- Penggunaan Atribut Aneh: Memaksa peserta mengenakan pakaian, tas, atau aksesori yang aneh, mencolok, atau memalukan. Tujuannya seringkali untuk membedakan junior dari senior dan menekankan status inferior mereka.
- Panggilan atau Sebutan Khusus: Memaksa junior menggunakan panggilan atau sebutan tertentu yang merendahkan, atau mengubah nama mereka.
- Ritual Tidak Logis: Melakukan ritual atau upacara yang tidak memiliki makna edukatif, tetapi hanya sebagai bentuk pengujian kepatuhan.
- Pembatasan Interaksi Sosial: Melarang junior berpacaran, bergaul dengan angkatan tertentu, atau berada di tempat-tempat tertentu, yang membatasi hak sosial mereka.
Bentuk-bentuk ini, meskipun tidak secara langsung melukai fisik, berkontribusi pada dehumanisasi peserta dan memperkuat budaya hierarki yang tidak sehat. Mereka bisa menjadi pintu gerbang menuju bentuk pelonco yang lebih parah jika tidak ada batasan yang jelas.
Penting untuk diingat bahwa batas antara "disiplin" dan "kekerasan" dalam pelonco seringkali kabur di mata pelaku. Namun, jika suatu tindakan menimbulkan ketakutan, rasa sakit, penghinaan, atau mengancam keselamatan dan martabat individu, maka itu sudah masuk kategori kekerasan, bukan lagi pembinaan atau pendidikan.
Motivasi dan Psikologi di Balik Tindakan Perpeloncoan
Memahami mengapa praktik pelonco terus ada, meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dan korban, membutuhkan analisis terhadap motivasi dan dinamika psikologis yang melatarinya. Para pelaku, yang umumnya adalah angkatan senior, seringkali memiliki alasan yang mereka anggap valid, meskipun alasan-alasan tersebut seringkali berakar pada pemahaman yang keliru atau penyalahgunaan kekuasaan.
1. Klaim Pembentukan Karakter dan Kedisiplinan
Ini adalah alasan paling umum yang selalu dikemukakan. Pelaku percaya bahwa melalui tekanan dan kesulitan yang diberikan, junior akan terbentuk menjadi pribadi yang lebih disiplin, tangguh, patuh, dan memiliki mental baja. Mereka berpendapat bahwa "kerasnya" proses pelonco adalah simulasi dari "kerasnya" dunia nyata atau tuntutan profesi di masa depan. Dalam pandangan mereka, tantangan ini akan mengikis sifat manja dan menyiapkan mental untuk menghadapi tekanan yang lebih besar. Namun, seringkali mereka gagal membedakan antara disiplin konstruktif dengan hukuman sewenang-wenang.
2. Menciptakan Solidaritas dan Kekompakan Angkatan
Para pelaku sering berargumen bahwa penderitaan bersama selama pelonco akan menciptakan ikatan yang kuat dan rasa solidaritas yang tak tergoyahkan antar anggota angkatan baru. Mereka percaya bahwa dengan melewati "neraka" yang sama, junior akan memiliki rasa persaudaraan yang mendalam, saling mendukung, dan loyal terhadap kelompoknya. Meskipun ikatan dapat terbentuk dalam menghadapi kesulitan, metode pelonco yang penuh tekanan justru seringkali menimbulkan trauma kolektif atau memecah belah, bukan menyatukan dalam arti positif.
3. Mewariskan Tradisi dan Budaya Institusi
Di banyak institusi, pelonco dipandang sebagai "tradisi" yang harus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ada keyakinan bahwa praktik ini adalah bagian integral dari identitas dan budaya institusi, dan bahwa melanggarnya berarti tidak menghormati para pendahulu. Rasa hormat terhadap tradisi ini seringkali menjadi tekanan bagi para senior untuk melanjutkan siklus, bahkan jika mereka sendiri pernah menjadi korban yang tidak nyaman dengan praktik tersebut. Mereka merasa bertanggung jawab untuk menjaga "kemurnian" tradisi yang telah mereka terima.
4. Siklus Balas Dendam dan Pembalasan
Salah satu motivasi yang paling gelap adalah siklus balas dendam. Para senior yang pernah menjadi korban pelonco yang keras di masa lalu, mungkin merasa berhak atau bahkan wajib untuk melakukan hal yang sama kepada junior mereka. Ada pemikiran bahwa "saya dulu juga mengalami, jadi kamu juga harus merasakan." Ini adalah manifestasi dari trauma yang tidak terproses dan keinginan untuk melampiaskan penderitaan yang pernah dialami, mengubah korban menjadi pelaku dalam lingkaran kekerasan yang tiada akhir.
5. Penyalahgunaan Kekuasaan dan Ego
Posisi sebagai senior memberikan rasa kekuasaan yang bisa memabukkan. Bagi sebagian individu, pelonco menjadi ajang untuk melampiaskan ego, menunjukkan dominasi, dan merasakan superioritas atas orang lain. Mereka menikmati kontrol mutlak atas junior, dan situasi ini memberikan rasa berharga atau kekuatan yang mungkin tidak mereka dapatkan di konteks lain. Ini adalah bentuk penyalahgunaan otoritas yang seringkali didorong oleh insecurity pribadi atau kebutuhan untuk merasa superior.
6. Tekanan Kelompok dan Ketakutan Akan Stigma
Tidak semua senior yang terlibat dalam pelonco benar-benar ingin melakukannya. Banyak yang merasa tertekan oleh teman sebaya atau kelompok angkatan untuk berpartisipasi. Ketakutan akan dikucilkan, dianggap lemah, atau tidak loyal terhadap angkatan seringkali memaksa mereka untuk mengikuti arus, bahkan jika hati nurani mereka menolak. Tekanan kelompok ini bisa sangat kuat, dan individu seringkali menekan suara hati mereka demi diterima dalam kelompok.
7. Minimnya Pengawasan dan Sanksi yang Tegas
Faktor eksternal juga berperan. Jika institusi tidak memiliki regulasi yang jelas, pengawasan yang efektif, atau sanksi yang tegas terhadap pelaku pelonco, maka praktik ini akan terus berlanjut. Kurangnya konsekuensi hukum atau administratif memberikan rasa aman bagi para pelaku untuk melanjutkan tindakan mereka tanpa rasa takut. Kebijakan yang ambigu atau penegakan yang lemah secara tidak langsung membenarkan dan melanggengkan praktik pelonco.
Memahami motivasi ini bukan berarti membenarkan tindakan pelonco. Sebaliknya, hal ini membantu kita merancang strategi pencegahan yang lebih efektif, tidak hanya dengan menghukum pelaku, tetapi juga dengan mengubah pola pikir, mengedukasi tentang bahaya pelonco, dan menawarkan alternatif yang lebih sehat dan konstruktif untuk mencapai tujuan-tujuan yang diklaim (seperti disiplin dan solidaritas).
Dampak Pelonco: Luka yang Tak Terlihat dan Terasa
Dampak pelonco jauh lebih luas dan mendalam daripada yang seringkali disadari. Korban tidak hanya mengalami penderitaan sesaat, tetapi seringkali harus menanggung konsekuensi jangka panjang yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan mereka. Memahami dampak ini adalah kunci untuk menggarisbawahi urgensi penghentian praktik pelonco.
1. Dampak Fisik
Dampak fisik adalah yang paling langsung terlihat dan seringkali menjadi pemicu berita di media massa. Kekerasan fisik selama pelonco dapat menyebabkan:
- Cedera Fisik: Mulai dari memar, lecet, luka gores, hingga patah tulang, gegar otak, atau cedera internal.
- Penyakit Akut: Akibat kelelahan ekstrem, kurang tidur, dehidrasi, atau paparan lingkungan yang buruk. Ini bisa berupa demam, infeksi saluran pernapasan, diare, hingga syok.
- Kondisi Kronis: Pada kasus yang parah, cedera dapat menyebabkan cacat permanen atau kondisi kesehatan kronis.
- Kematian: Sayangnya, ada banyak kasus di mana pelonco berujung pada kematian korban akibat kekerasan berlebihan, dehidrasi parah, atau kondisi medis yang tidak ditangani.
Luka fisik ini tidak hanya menyisakan bekas di tubuh, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis yang mendalam bagi korban.
2. Dampak Psikologis Jangka Pendek
Segera setelah atau selama pelonco, korban dapat mengalami berbagai masalah psikologis:
- Ketakutan dan Kecemasan: Rasa takut yang intens terhadap senior atau lingkungan baru.
- Stres Akut: Reaksi fisiologis dan psikologis terhadap tekanan berat, termasuk sulit tidur, hilang nafsu makan, dan sakit kepala.
- Depresi: Perasaan sedih, putus asa, dan kehilangan minat yang mendalam.
- Hilang Kepercayaan Diri: Merasa tidak berharga atau tidak mampu akibat perlakuan merendahkan.
- Kesulitan Beradaptasi: Merasa terasing dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang seharusnya menjadi tempat belajar dan berkembang.
- Fobia Sosial: Ketakutan berlebihan terhadap interaksi sosial, terutama dengan kelompok atau figur otoritas.
3. Dampak Psikologis Jangka Panjang
Jika trauma tidak diatasi dengan baik, dampak psikologis pelonco bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan seumur hidup:
- Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD): Ditandai dengan kilas balik (flashback), mimpi buruk, penghindaran situasi pemicu, hiper-kewaspadaan, dan emosi negatif yang persisten.
- Depresi Kronis dan Gangguan Kecemasan Umum: Kondisi ini bisa mengganggu kualitas hidup, hubungan interpersonal, dan kinerja akademis/profesional.
- Masalah Kepercayaan: Kesulitan mempercayai orang lain, terutama figur otoritas atau kelompok. Hal ini dapat merusak hubungan pribadi dan profesional.
- Rendah Diri dan Rasa Tidak Berharga: Perlakuan merendahkan selama pelonco dapat mengikis harga diri, membuat individu merasa tidak layak atau tidak mampu.
- Agresi dan Kekerasan (Siklus Pelaku-Korban): Korban pelonco memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari, meneruskan siklus yang mereka alami.
- Pikiran untuk Bunuh Diri atau Menyakiti Diri Sendiri: Dalam kasus paling parah, tekanan dan trauma bisa mendorong individu pada pikiran ekstrem ini.
4. Dampak Sosial dan Akademis/Profesional
Selain dampak pribadi, pelonco juga membawa konsekuensi pada interaksi sosial dan jalur pendidikan/karier:
- Isolasi Sosial: Korban mungkin menarik diri dari pergaulan, merasa sulit menjalin pertemanan baru, atau menghindari lingkungan sosial.
- Kesulitan Beradaptasi dengan Lingkungan Baru: Alih-alih membantu adaptasi, pelonco justru menghambatnya, membuat peserta merasa tidak nyaman dan terancam.
- Penurunan Kinerja Akademis/Profesional: Stres, kecemasan, dan trauma dapat mengganggu konsentrasi belajar, motivasi, dan kemampuan untuk berprestasi.
- Putus Sekolah atau Mengundurkan Diri: Beberapa korban memilih untuk mengundurkan diri dari institusi daripada terus menanggung penderitaan.
- Citra Negatif Institusi: Kasus pelonco yang terungkap di media dapat merusak reputasi institusi pendidikan atau militer, mengurangi minat calon peserta didik, dan menyebabkan sanksi dari pemerintah.
5. Mempertanyakan Klaim Dampak Positif
Para pendukung pelonco sering mengklaim bahwa praktik ini membentuk disiplin, mental kuat, dan solidaritas. Namun, para ahli psikologi dan pendidikan sangat meragukan klaim ini. Disiplin yang dipaksakan melalui ketakutan dan kekerasan cenderung bersifat sementara dan tidak menumbuhkan kesadaran diri. Mental "kuat" yang terbentuk seringkali adalah mental yang kebal terhadap penderitaan orang lain atau justru mudah menindas. Solidaritas yang terjalin karena trauma bersama adalah ikatan yang rapuh dan bisa berubah menjadi rasa benci atau balas dendam.
Pengembangan karakter dan kedisiplinan yang sejati harus didasarkan pada prinsip-prinsip positif, seperti penghargaan, tanggung jawab, empati, dan bimbingan yang konstruktif, bukan melalui penyiksaan atau penghinaan. Dampak negatif pelonco jauh melampaui potensi "manfaat" yang diklaim, menjadikannya praktik yang merugikan dan tidak etis.
Aspek Hukum dan Etika Perpeloncoan
Meskipun praktik pelonco telah berlangsung lama, tidak berarti praktik tersebut legal atau etis. Dari perspektif hukum dan etika, pelonco adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan seringkali dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana. Institusi pendidikan, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan peserta didiknya, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk mencegah dan menindak praktik ini.
1. Pelonco dalam Kacamata Hukum Indonesia
Di Indonesia, tidak ada undang-undang khusus yang secara eksplisit menyebut "pelonco" sebagai tindak pidana. Namun, banyak aspek dari praktik pelonco dapat dijerat oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang ada:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
- Pasal 351 (Penganiayaan): Jika pelonco menyebabkan luka, sakit, atau penderitaan fisik, pelaku dapat dijerat pasal penganiayaan. Tingkat keparahan luka akan menentukan ancaman pidana.
- Pasal 170 (Pengeroyokan): Jika pelonco dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama yang mengakibatkan kekerasan terhadap orang atau barang.
- Pasal 335 (Perbuatan Tidak Menyenangkan): Meskipun sering menjadi perdebatan, pasal ini bisa digunakan jika ada unsur paksaan atau ancaman yang menyebabkan ketakutan.
- Pasal 338 (Pembunuhan) atau 359 (Kelalaian yang Menyebabkan Kematian): Jika pelonco berujung pada kematian korban, pelaku dan pihak yang lalai dapat dijerat pasal-pasal ini dengan konsekuensi hukum yang sangat berat.
- Undang-Undang Perlindungan Anak: Jika korban pelonco adalah anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), maka Undang-Undang Nomor 35 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak dapat diterapkan. Pasal-pasal terkait kekerasan fisik, psikis, atau penelantaran anak dapat menjerat pelaku.
- Undang-Undang Pendidikan Nasional: Undang-Undang ini menegaskan bahwa pendidikan harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama, kebudayaan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Praktik pelonco jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Beberapa peraturan menteri telah dikeluarkan untuk mengatur masa orientasi siswa/mahasiswa, dengan penekanan pada kegiatan yang positif dan melarang keras praktik pelonco, perploncoan, atau kekerasan dalam bentuk apapun.
Meskipun penegakan hukum terhadap kasus pelonco seringkali menghadapi tantangan, terutama karena tekanan untuk "menyelesaikan secara internal" atau kurangnya bukti, kerangka hukum yang ada sudah cukup kuat untuk menindak pelaku jika ada kemauan politik dan keberanian korban untuk melapor.
2. Tanggung Jawab Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan—sekolah, kampus, atau akademi—memiliki tanggung jawab moral dan hukum yang besar terhadap keselamatan dan kesejahteraan seluruh komunitasnya, terutama peserta didik. Tanggung jawab ini mencakup:
- Pencegahan: Menerbitkan kebijakan yang jelas melarang pelonco, melakukan sosialisasi anti-kekerasan, dan mengawasi kegiatan orientasi.
- Perlindungan: Menyediakan lingkungan yang aman, bebas dari ancaman kekerasan, dan memiliki mekanisme pengaduan yang mudah diakses dan aman bagi korban.
- Penindakan: Melakukan investigasi yang transparan dan adil terhadap laporan pelonco, serta memberikan sanksi tegas kepada pelaku sesuai peraturan yang berlaku.
- Pemulihan: Memberikan dukungan psikologis atau medis bagi korban pelonco.
Kelalaian institusi dalam melaksanakan tanggung jawab ini dapat menyebabkan mereka dianggap turut bertanggung jawab secara hukum, terutama jika ada korban jiwa atau cedera serius.
3. Aspek Etika dan Hak Asasi Manusia
Dari sudut pandang etika, pelonco adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Setiap individu memiliki hak untuk:
- Hidup dan Keamanan Fisik: Tidak seorang pun boleh disakiti atau diancam nyawanya.
- Martabat dan Harga Diri: Tidak seorang pun boleh dipermalukan, diintimidasi, atau direndahkan.
- Kebebasan dari Perlakuan Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan: Pelonco seringkali masuk dalam kategori ini.
- Pendidikan yang Aman dan Kondusif: Lingkungan belajar seharusnya mendukung pertumbuhan, bukan menciptakan ketakutan.
Praktik pelonco secara fundamental bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pendidikan. Ini merusak integritas individu, mengikis empati, dan menormalisasi kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebuah institusi yang membiarkan pelonco berarti telah gagal dalam misi dasarnya untuk membentuk manusia yang beradab dan berintegritas.
Studi Kasus dan Perdebatan Publik
Sejarah Indonesia diwarnai oleh berbagai kasus pelonco yang mencuat ke permukaan, menciptakan gelombang perdebatan publik, dan seringkali berakhir tragis. Meskipun seringkali berakhir tanpa kejelasan hukum atau hanya dengan sanksi ringan, kasus-kasus ini berfungsi sebagai pengingat pahit akan bahaya laten praktik perpeloncoan.
Pola Umum Kasus Pelonco
Kasus-kasus pelonco yang terekspos ke publik sering menunjukkan pola serupa:
- Kekerasan Fisik Berlebihan: Banyak kasus melibatkan aktivitas fisik di luar batas normal, seperti lari berlebihan, push-up ratusan kali, atau dipaksa berdiri berjam-jam tanpa istirahat. Ini sering kali dilakukan di bawah terik matahari atau dalam kondisi kurang tidur.
- Pengeroyokan: Korban seringkali dianiaya secara bersama-sama oleh sekelompok senior, kadang di tempat tersembunyi atau di waktu yang tidak terjangkau pengawasan.
- Intimidasi dan Penghinaan: Bentakan, makian, ejekan yang merendahkan, atau ancaman adalah bagian tak terpisahkan dari banyak kasus, meninggalkan luka psikologis yang dalam.
- Kerugian Jiwa: Sayangnya, beberapa kasus berakhir dengan kematian. Penyebabnya beragam, mulai dari dehidrasi ekstrem, gagal jantung, hingga trauma fisik parah akibat pukulan atau benturan. Kasus-kasus ini biasanya memicu kemarahan publik yang besar.
- Tugas Aneh dan Tidak Masuk Akal: Peserta dipaksa mencari barang-barang langka, membuat atribut memalukan, atau melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan pendidikan.
- Upaya Penutupan Kasus: Seringkali ada tekanan dari pihak institusi atau keluarga pelaku untuk menyelesaikan kasus secara kekeluargaan atau menutup-nutupinya demi menjaga nama baik.
Setiap kali kasus pelonco mencuat, respons publik biasanya terbagi. Satu sisi mengecam keras, menuntut keadilan, dan mendesak reformasi total. Sisi lain, meskipun minoritas, mungkin mencoba membela praktik tersebut dengan dalih "pembentukan karakter" atau "tradisi", seringkali meremehkan penderitaan korban. Perdebatan ini menggarisbawahi betapa sulitnya mengubah pola pikir yang sudah mengakar.
Peran Media dan Reaksi Pemerintah
Media massa memainkan peran krusial dalam mengungkap kasus-kasus pelonco. Liputan yang intensif seringkali menjadi katalisator bagi reaksi pemerintah dan publik. Tanpa media, banyak kasus mungkin akan terkubur tanpa jejak. Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, seringkali mengeluarkan peringatan keras, instruksi pelarangan, dan kadang-kadang sanksi kepada institusi yang terbukti lalai.
Meskipun demikian, tantangan dalam penegakan aturan tetap besar. Banyak institusi yang masih bersembunyi di balik dalih "tradisi" atau "otonomi", mempersulit upaya pemerintah untuk mengintervensi secara efektif. Sanksi yang diberikan kepada pelaku juga seringkali dirasa tidak setimpal, memunculkan frustrasi di kalangan masyarakat yang mendambakan keadilan.
Perdebatan tentang Batas "Disiplin" dan "Kekerasan"
Salah satu inti perdebatan publik adalah di mana batas antara "disiplin" yang wajar dan "kekerasan" yang tidak dapat diterima. Para pendukung pelonco berargumen bahwa sedikit tekanan atau ketidaknyamanan adalah bagian dari proses pembentukan mental. Namun, garis merahnya harus jelas: jika suatu tindakan menimbulkan rasa takut, penderitaan, penghinaan, atau merusak kesehatan fisik maupun mental, itu sudah melewati batas disiplin dan masuk kategori kekerasan.
Masyarakat semakin menyadari bahwa tidak ada manfaat positif yang dapat diperoleh dari kekerasan. Disiplin sejati tumbuh dari kesadaran diri dan penghargaan terhadap aturan, bukan dari ketakutan akan hukuman. Solidaritas yang kuat terbangun dari rasa saling menghormati dan dukungan, bukan dari penderitaan yang dipaksakan. Pergeseran paradigma ini adalah kunci untuk mengakhiri perdebatan yang tidak produktif dan bergerak menuju solusi yang lebih manusiawi.
Membangun Budaya Orientasi yang Konstruktif dan Positif
Mengakhiri praktik pelonco bukan berarti menghapus masa orientasi. Sebaliknya, ini adalah kesempatan untuk menciptakan sistem orientasi yang jauh lebih efektif, konstruktif, dan sesuai dengan nilai-nilai pendidikan modern. Orientasi positif bertujuan untuk memberdayakan peserta didik baru, membantu mereka beradaptasi, dan menginspirasi mereka untuk menjadi anggota komunitas yang produktif dan bertanggung jawab.
Prinsip-prinsip Orientasi Positif
Orientasi yang konstruktif harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
- Inklusif dan Ramah: Semua peserta merasa diterima, aman, dan nyaman tanpa memandang latar belakang.
- Edukatif dan Informatif: Memberikan informasi yang relevan dan berguna tentang institusi, kurikulum, fasilitas, dan sumber daya yang tersedia.
- Pengembangan Diri: Fokus pada pengembangan keterampilan lunak (soft skills), kepemimpinan, kerja sama tim, dan pemecahan masalah.
- Partisipatif dan Interaktif: Melibatkan peserta secara aktif dalam kegiatan yang menyenangkan dan bermakna.
- Menghargai Martabat: Tidak ada ruang untuk penghinaan, intimidasi, atau perlakuan yang merendahkan.
- Transparan dan Akuntabel: Program diumumkan secara jelas, dengan tujuan yang terukur, dan ada pengawasan dari pihak berwenang.
Alternatif Program Orientasi yang Inovatif
Ada banyak cara kreatif untuk mengganti pelonco dengan kegiatan yang bermanfaat:
- Pengenalan Institusi yang Komprehensif:
- Tur Kampus/Sekolah Interaktif: Dipandu oleh senior yang ramah, menjelaskan setiap fasilitas dan fungsi dengan humor dan informasi menarik.
- Sesi Informasi Akademik: Penjelasan tentang kurikulum, sistem penilaian, beasiswa, dan dukungan akademik.
- Workshop Pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)/Ekstrakurikuler: Memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengenal dan memilih kegiatan sesuai minat mereka.
- Pengembangan Keterampilan Lunak (Soft Skills):
- Workshop Kepemimpinan dan Kerja Sama Tim: Melalui simulasi, studi kasus, atau permainan yang tidak mengintimidasi.
- Sesi Pemecahan Masalah Kreatif: Tantangan kelompok yang mendorong berpikir kritis dan kolaborasi.
- Pelatihan Komunikasi Efektif: Membantu peserta mengembangkan kemampuan berbicara di depan umum, mendengarkan, dan bernegosiasi.
- Mentoring dan Bimbingan Senior-Junior yang Sehat:
- Program Mentor Resmi: Setiap peserta baru dipasangkan dengan seorang senior sebagai mentor yang bertugas membimbing, memberikan nasihat, dan membantu adaptasi.
- Forum Diskusi dan Sharing: Senior berbagi pengalaman positif dan tips sukses, menciptakan ikatan yang didasari rasa saling percaya dan menghormati.
- Kegiatan Sosial dan Komunitas yang Inklusif:
- Outbound Edukatif: Kegiatan di alam terbuka yang dirancang untuk membangun kebersamaan, kepercayaan, dan pemecahan masalah secara positif, tanpa unsur kekerasan atau paksaan.
- Proyek Sosial Bersama: Melibatkan angkatan baru dalam kegiatan bakti sosial atau pengabdian masyarakat. Ini menumbuhkan empati dan rasa tanggung jawab sosial.
- Pertunjukan Seni atau Olahraga Bersama: Ajang untuk menyalurkan bakat dan membangun keakraban dalam suasana yang menyenangkan dan sportif.
- Pengenalan Etika dan Integritas:
- Sesi Diskusi tentang Etika Akademik: Pentingnya kejujuran, anti-plagiarisme, dan tanggung jawab.
- Kampanye Anti-Kekerasan dan Anti-Bullying: Menumbuhkan kesadaran akan bahaya kekerasan dan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman.
- Membuat Regulasi Tegas: Menerbitkan undang-undang atau peraturan yang secara eksplisit melarang segala bentuk perpeloncoan dan kekerasan di institusi pendidikan.
- Pengawasan dan Evaluasi: Melakukan pengawasan rutin terhadap kegiatan orientasi di semua institusi, memastikan kepatuhan terhadap regulasi, dan melakukan evaluasi berkala terhadap program orientasi.
- Sanksi yang Konsisten: Menerapkan sanksi hukum dan administratif yang tegas dan konsisten bagi individu atau institusi yang terbukti melanggar.
- Sosialisasi dan Edukasi Nasional: Mengadakan kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pelonco dan hak-hak peserta didik.
- Kebijakan Anti-Pelonco yang Jelas: Merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan nol toleransi terhadap pelonco, dengan definisi yang jelas tentang apa yang termasuk kekerasan dan apa yang tidak.
- Mekanisme Pelaporan Aman: Menyediakan saluran pelaporan yang mudah diakses, rahasia, dan aman bagi korban atau saksi, tanpa takut akan pembalasan.
- Penegakan Aturan Internal: Melakukan investigasi yang transparan, adil, dan cepat terhadap setiap laporan, serta memberikan sanksi disipliner yang sesuai kepada pelaku.
- Program Orientasi Alternatif: Merancang dan melaksanakan program orientasi yang positif, edukatif, dan inspiratif, seperti yang telah dibahas sebelumnya.
- Edukasi Pencegahan: Secara aktif mengedukasi seluruh komunitas (dosen/guru, staf, mahasiswa/siswa) tentang bahaya pelonco dan pentingnya budaya saling menghormati.
- Edukasi Anak: Mengajarkan anak tentang hak-hak mereka, pentingnya menolak kekerasan, dan keberanian untuk melapor jika menjadi korban atau saksi.
- Komunikasi Terbuka: Membangun hubungan komunikasi yang terbuka dengan anak agar mereka merasa nyaman menceritakan pengalaman buruk yang mereka alami.
- Pengawasan dan Kepekaan: Memperhatikan perubahan perilaku anak setelah mengikuti orientasi dan berani mempertanyakan jika ada indikasi pelonco.
- Berani Melapor: Jika anak menjadi korban, orang tua harus berani melaporkan ke pihak institusi atau berwenang dan menuntut pertanggungjawaban.
- Kesadaran Hak: Memahami hak-hak mereka sebagai peserta didik dan menyadari bahwa kekerasan dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan.
- Menolak dan Melapor: Berani menolak praktik pelonco dan melapor kepada pihak yang berwenang jika menjadi korban atau menyaksikan kekerasan.
- Tidak Meneruskan Siklus: Bagi angkatan senior, putuskan rantai kekerasan. Jadilah mentor yang positif dan inspiratif, bukan pelaku.
- Solidaritas Anti-Kekerasan: Membangun solidaritas di antara angkatan baru untuk menolak praktik pelonco dan saling melindungi.
- Pengawasan Publik: Masyarakat harus terus mengawasi praktik-praktik di institusi pendidikan dan menyuarakan keprihatinan jika ada indikasi pelonco.
- Penyebaran Informasi: Media massa memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi tentang bahaya pelonco, mengungkap kasus-kasus yang terjadi, dan memberikan ruang bagi diskusi konstruktif.
- Pembentukan Opini Publik: Membentuk opini publik yang kuat yang menolak segala bentuk kekerasan dan mendukung lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif.
- Organisasi Non-Pemerintah (NGO) dan Komunitas: Dapat berperan dalam advokasi, pendampingan korban, dan edukasi publik.
- Pemahaman tentang Dampak Negatif Pelonco: Mengungkap secara transparan berbagai luka fisik dan psikologis yang ditimbulkan.
- Pengenalan Hak Asasi Manusia: Menanamkan kesadaran bahwa setiap individu memiliki hak untuk diperlakukan dengan martabat.
- Alternatif Orientasi yang Konstruktif: Memberikan contoh konkret dan praktik terbaik dari program orientasi yang positif.
- Pelatihan Empati dan Keterampilan Resolusi Konflik: Mengajarkan cara-cara non-kekerasan untuk menyelesaikan masalah dan membangun hubungan.
- Lingkungan Belajar yang Aman: Di mana rasa takut digantikan oleh rasa ingin tahu dan semangat belajar.
- Pengembangan Potensi Maksimal: Setiap individu memiliki kesempatan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya tanpa terhambat oleh trauma.
- Komunitas yang Kuat dan Sehat: Solidaritas dibangun atas dasar rasa hormat, kepercayaan, dan tujuan bersama, bukan penderitaan yang dipaksakan.
- Institusi yang Berintegritas: Institusi pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan menjadi contoh teladan bagi masyarakat.
Dengan menerapkan pendekatan-pendekatan ini, orientasi dapat menjadi pengalaman yang transformatif dan berharga, mempersiapkan peserta didik baru untuk sukses tidak hanya dalam akademis tetapi juga dalam kehidupan sosial dan profesional mereka, tanpa perlu mengorbankan martabat atau kesejahteraan mereka.
Peran Berbagai Pihak dalam Menghapus Praktik Pelonco
Menghapus praktik pelonco adalah tugas kolektif yang membutuhkan komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak. Tidak ada satu entitas pun yang dapat melakukannya sendiri. Setiap elemen masyarakat, mulai dari pemerintah hingga individu, memiliki peran krusial dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan dan intimidasi.
1. Pemerintah dan Regulator
2. Institusi Pendidikan (Sekolah, Perguruan Tinggi, Akademi)
3. Orang Tua dan Keluarga
4. Mahasiswa/Siswa (Calon Korban dan Calon Pelaku)
5. Masyarakat dan Media Massa
Dengan sinergi dari semua pihak ini, perubahan budaya yang mendalam dapat terwujud, mengubah pelonco dari praktik gelap menjadi sejarah kelam yang tidak terulang.
Masa Depan Tanpa Pelonco: Sebuah Harapan dan Tantangan
Visi untuk masa depan pendidikan yang bebas dari praktik pelonco adalah sebuah harapan yang sangat mendesak. Harapan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus menjadi ruang aman, inklusif, dan inspiratif, di mana setiap individu dapat berkembang secara optimal tanpa rasa takut atau ancaman. Namun, mewujudkan visi ini bukanlah tanpa tantangan.
Tantangan dalam Mengubah Mindset dan Tradisi
Salah satu tantangan terbesar adalah mengubah mindset yang telah lama mengakar. Banyak pihak, baik itu senior, alumni, bahkan beberapa staf pengajar, masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa pelonco adalah bagian esensial dari "pembentukan karakter" atau "tradisi" yang harus dipertahankan. Mereka mungkin melihat upaya penghapusan pelonco sebagai bentuk westernisasi, pelemahan mental generasi muda, atau pengkhianatan terhadap warisan institusi. Mengikis keyakinan ini membutuhkan waktu, edukasi berkelanjutan, dan bukti nyata bahwa alternatif yang positif jauh lebih efektif.
Selain itu, tekanan kelompok dan siklus balas dendam juga menjadi penghalang. Korban pelonco yang tidak terproses traumanya seringkali menjadi pelaku di kemudian hari, meneruskan rantai kekerasan. Untuk memutus siklus ini, diperlukan intervensi psikologis, edukasi empati, dan mekanisme dukungan yang kuat bagi mereka yang pernah menjadi korban.
Pentingnya Edukasi Berkelanjutan dan Regenerasi Budaya
Untuk mencapai masa depan tanpa pelonco, edukasi harus menjadi fondasi utama. Bukan hanya edukasi bagi peserta didik baru, tetapi juga bagi senior, staf, dan orang tua. Edukasi harus mencakup:
Regenerasi budaya institusi juga krusial. Ini berarti secara sadar mengganti norma-norma lama yang membenarkan pelonco dengan nilai-nilai baru yang mengedepankan penghargaan, inklusivitas, dan dukungan. Para pemimpin institusi harus menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai ini, dan mendukung inisiatif-inisiatif yang berorientasi pada kesejahteraan peserta didik.
Visi Orientasi yang Inklusif, Merangkul, dan Memberdayakan
Masa depan tanpa pelonco adalah masa depan di mana setiap peserta didik baru disambut dengan tangan terbuka, di mana mereka merasa didukung dan dihargai sejak hari pertama. Orientasi akan menjadi jembatan yang mulus menuju lingkungan belajar, bukan rintangan yang menakutkan.
Visi ini mencakup:
Mewujudkan visi ini adalah investasi jangka panjang untuk generasi mendatang. Ini adalah komitmen untuk menciptakan masyarakat yang lebih beradab, empatik, dan produktif. Perjalanan ini mungkin panjang dan penuh rintangan, tetapi dengan tekad bersama dari pemerintah, institusi pendidikan, orang tua, mahasiswa/siswa, dan masyarakat, masa depan tanpa pelonco adalah harapan yang realistis dan layak untuk diperjuangkan.
Kesimpulan
Pelonco adalah praktik yang telah lama mengakar, seringkali disalahartikan sebagai sarana pembentukan karakter, namun pada kenyataannya lebih banyak menimbulkan luka fisik dan psikologis yang mendalam. Dari sejarahnya yang panjang hingga berbagai bentuk kekerasan yang diwujudkan, pelonco terbukti merugikan individu, merusak reputasi institusi, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan hukum. Dampak traumatis yang ditimbulkannya dapat menghantui korban seumur hidup, bahkan menciptakan siklus kekerasan di mana korban di masa lalu menjadi pelaku di masa kini.
Meskipun motivasi di balik pelonco seringkali diklaim sebagai upaya untuk menciptakan disiplin atau solidaritas, bukti menunjukkan bahwa cara-cara kekerasan tidak pernah efektif dalam mencapai tujuan positif. Sebaliknya, ada banyak alternatif orientasi yang konstruktif dan positif, yang mampu membentuk karakter, menumbuhkan solidaritas, dan memperkenalkan lingkungan baru secara efektif, tanpa harus mengorbankan martabat atau keselamatan peserta didik.
Mengakhiri praktik pelonco adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah dengan regulasinya, institusi pendidikan dengan kebijakannya, orang tua dengan pengawasan dan dukungan mereka, serta mahasiswa/siswa dengan keberanian untuk menolak dan melapor, semuanya memiliki peran vital. Masyarakat luas dan media juga harus terus menyuarakan penolakan terhadap kekerasan dan mendorong budaya yang lebih beradab.
Masa depan tanpa pelonco bukanlah sekadar impian, melainkan sebuah keharusan. Ini adalah investasi untuk menciptakan generasi penerus yang lebih cerdas, lebih empatik, dan lebih berintegritas. Dengan kesadaran, komitmen, dan aksi nyata dari semua pihak, kita dapat mengubah tradisi kelam ini menjadi sejarah, dan menggantinya dengan budaya orientasi yang merangkul, memberdayakan, dan membanggakan.