Pajajaran: Kisah Peradaban di Tanah Pasundan

Menyelami jejak Kerajaan Sunda yang megah, dari awal mula hingga warisan abadi

Pengantar: Kerajaan Pajajaran, Pilar Sejarah Sunda

Kerajaan Pajajaran, atau sering disebut juga Kerajaan Sunda, adalah salah satu entitas politik paling signifikan dalam sejarah Nusantara, khususnya di wilayah Jawa bagian barat. Berdiri dan berkembang selama berabad-abad, kerajaan ini meninggalkan jejak peradaban yang kaya, baik dalam aspek politik, sosial, budaya, maupun spiritual. Namanya kini tak hanya dikenal sebagai fakta sejarah, tetapi juga sebagai sumber inspirasi dan identitas bagi masyarakat Sunda. Kisah-kisahnya sarat akan nilai kepemimpinan, kebijaksanaan, keberanian, dan semangat menjaga tatanan. Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam seluk-beluk Kerajaan Pajajaran, dari masa pembentukannya, puncak kejayaan di bawah raja-raja besar seperti Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), hingga keruntuhannya yang tragis namun meninggalkan warisan tak ternilai.

Pajajaran bukan sekadar nama dari lembaran masa lalu; ia adalah cerminan dari sebuah peradaban yang mampu beradaptasi, berinteraksi dengan dunia luar, dan membentuk karakteristik kebudayaan yang khas. Mempelajari Pajajaran berarti memahami akar dari banyak tradisi, filosofi, dan identitas yang melekat pada masyarakat Sunda modern. Dari naskah-naskah kuno yang berharga hingga situs-situs arkeologi yang tersebar di wilayah Jawa Barat, setiap kepingan informasi membantu kita merekonstruksi kembali gambaran besar sebuah kerajaan yang pernah berjaya.

Kehadiran Pajajaran juga menjadi saksi bisu dinamika politik dan keagamaan di Nusantara. Interaksinya dengan kerajaan-kerajaan lain seperti Majapahit, Kesultanan Demak, Cirebon, dan Banten, serta hubungannya dengan kekuatan asing seperti Portugis, menunjukkan Pajajaran bukanlah entitas yang terisolasi. Sebaliknya, ia adalah pemain kunci dalam panggung sejarah regional, yang keputusannya sering kali memiliki dampak luas. Melalui artikel ini, kita akan mencoba menangkap esensi dari kerajaan yang megah ini, mengungkap misteri, meluruskan kesalahpahaman, dan menghargai warisan tak ternilai yang ditinggalkannya.

Simbol Mahkota Kerajaan Pajajaran Sebuah mahkota sederhana dengan tiga puncak, mewakili kekuasaan kerajaan Pajajaran.
Simbol mahkota yang merepresentasikan kekuasaan dan kejayaan Kerajaan Pajajaran.

Asal-Usul dan Fondasi Kerajaan Sunda

Sejarah Kerajaan Pajajaran tidak dapat dilepaskan dari kerajaan-kerajaan pendahulunya di Jawa bagian barat. Akar sejarahnya menjulur jauh ke belakang, hingga masa Kerajaan Tarumanegara yang berjaya pada abad ke-4 hingga ke-7 Masehi. Setelah kemunduran Tarumanegara, munculah kerajaan-kerajaan kecil yang mewarisi wilayah dan pengaruhnya, di antaranya adalah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Menurut naskah-naskah kuno seperti "Carita Parahyangan", Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 Masehi. Tarusbawa adalah menantu Raja Tarumanegara terakhir, Linggawarman. Ketika Linggawarman meninggal, ia tidak memiliki putra mahkota, sehingga kekuasaan beralih ke Tarusbawa. Namun, ia tidak mau menggunakan gelar "Raja Tarumanegara", melainkan mendirikan kerajaan baru bernama Sunda. Pada saat yang sama, salah satu tokoh penting lainnya, Wretikandayun, yang merupakan keturunan Raja Jayasinghawarman dari Tarumanegara dan pendiri Galuh, menuntut pemisahan wilayah timur Tarumanegara untuk menjadi Kerajaan Galuh. Pembagian ini menghasilkan dua kerajaan yang berdampingan: Sunda di barat dan Galuh di timur, dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Dalam perkembangannya, kedua kerajaan ini seringkali mengalami persatuan dan perpecahan melalui perkawinan politik atau peperangan. Salah satu peristiwa penting yang menyatukan kembali Sunda dan Galuh adalah pada masa pemerintahan Sanjaya, pendiri Wangsa Mataram Kuno di Jawa Tengah. Sanjaya menikahi putri Tarusbawa, Tejakencana, dan memerintah kedua wilayah tersebut. Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk fokus pada pembangunan Mataram di Jawa Tengah, dan menyerahkan kembali kekuasaan atas Sunda-Galuh kepada keturunan Tarusbawa.

Integrasi yang lebih kuat antara Sunda dan Galuh terjadi pada masa pemerintahan Sri Jayabhupati pada abad ke-11. Ia mengklaim sebagai "Raja Sunda dan Galuh", yang menunjukkan adanya penggabungan kekuasaan atas kedua wilayah tersebut. Penyatuan ini semakin diperkuat oleh raja-raja selanjutnya, yang secara bertahap membangun fondasi sebuah kerajaan yang lebih besar dan terstruktur.

Periode ini juga menyaksikan perkembangan penting dalam administrasi dan tatanan sosial. Para penguasa Sunda mulai menyusun undang-undang dan aturan yang dikenal sebagai "Sanghyang Siksakanda ng Karesian", yang menggambarkan etika kepemimpinan, tata krama, dan kewajiban warga negara. Naskah ini menjadi bukti adanya peradaban yang kompleks dan terorganisir, jauh sebelum kemunculan Pajajaran sebagai nama ibu kota.

Istilah "Pajajaran" sendiri mulai sering digunakan untuk merujuk kepada kerajaan setelah ibu kotanya dipindahkan ke Pakuan, yang kemudian dikenal sebagai Pakuan Pajajaran. Pemindahan ibu kota ini terjadi karena berbagai alasan strategis, termasuk pertimbangan pertahanan dan ekonomi. Lokasi Pakuan yang strategis di daerah hulu sungai dan dikelilingi perbukitan menjadikannya pilihan ideal untuk pusat pemerintahan yang kuat dan berwibawa.

Melalui perjalanan panjang dari Tarumanegara, Sunda, Galuh, hingga bersatu menjadi Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran, terbentuklah sebuah entitas yang kokoh. Fondasi ini tidak hanya dibangun di atas kekuasaan politik, tetapi juga di atas nilai-nilai budaya, tradisi, dan spiritualitas yang mendalam, menyiapkan panggung bagi masa kejayaan yang akan datang.

Geografi, Wilayah Kekuasaan, dan Pusat Pemerintahan

Pemahaman mengenai geografi dan wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran sangat penting untuk menggambarkan luasnya pengaruh dan sumber daya yang dimiliki kerajaan ini. Secara geografis, Kerajaan Pajajaran mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat saat ini, serta beberapa daerah di Jawa Tengah bagian barat dan Banten.

Pada puncak kejayaannya, wilayah Pajajaran membentang dari Sungai Cipamali (sekarang Kali Brebes) di bagian timur hingga ke ujung barat Pulau Jawa, termasuk sebagian besar pesisir utara dan selatan. Batas ini seringkali berfluktuasi tergantung pada dinamika politik dan hubungan dengan kerajaan tetangga, terutama Majapahit di timur dan kemudian kesultanan-kesultanan Islam di Cirebon dan Banten.

Kota-kota Penting

  1. Pakuan Pajajaran: Ini adalah ibu kota utama kerajaan yang didirikan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Lokasinya diperkirakan berada di sekitar Kota Bogor modern. Pakuan Pajajaran adalah pusat pemerintahan, keagamaan, perdagangan, dan kebudayaan. Dikelilingi oleh tembok pertahanan yang kuat dan memiliki tata kota yang teratur, Pakuan menjadi simbol kemegahan Pajajaran. Naskah-naskah kuno menggambarkan Pakuan sebagai kota yang makmur dengan pasar-pasar ramai, bangunan-bangunan megah, dan kehidupan masyarakat yang teratur.
  2. Kawali: Sebelum Pakuan, Kawali di Ciamis (sekarang) adalah salah satu pusat kekuasaan penting Kerajaan Galuh yang kemudian menyatu dengan Sunda. Kawali memiliki peninggalan berupa prasasti-prasasti yang mengabadikan nama-nama raja dan peristiwa penting. Keberadaan Kawali sebagai pusat kekuasaan menunjukkan kontinuitas peradaban di tanah Sunda.
  3. Pelabuhan-pelabuhan: Pajajaran menguasai beberapa pelabuhan penting di pesisir utara Jawa, seperti Kalapa (sekarang Jakarta), Karawang, dan Cimanuk. Pelabuhan-pelabuhan ini adalah urat nadi ekonomi kerajaan, tempat bertemunya pedagang lokal dan asing. Laporan Portugis pada abad ke-16 menunjukkan betapa pentingnya Kalapa sebagai pusat perdagangan lada dan komoditas lainnya.

Topografi dan Sumber Daya

Wilayah Pajajaran didominasi oleh pegunungan dan dataran tinggi di bagian tengah, dengan dataran rendah yang subur di pesisir utara dan selatan. Topografi ini memberikan keunggulan strategis sekaligus kekayaan sumber daya alam:

  • Pertanian: Dataran tinggi menghasilkan padi, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sistem irigasi tradisional yang canggih memastikan pasokan pangan yang cukup.
  • Perkebunan: Lada menjadi komoditas ekspor utama yang sangat dicari oleh pedagang asing, termasuk Portugis. Selain itu, rempah-rempah lain juga dibudidayakan.
  • Kehutanan: Hutan-hutan lebat menyediakan kayu untuk pembangunan dan juga habitat bagi satwa liar yang penting untuk sumber daya hewani.
  • Pertambangan: Meskipun tidak sebesar daerah lain di Nusantara, ada indikasi adanya aktivitas penambangan emas dan perak di beberapa wilayah.

Kontrol atas wilayah yang luas ini memungkinkan Pajajaran untuk membangun sistem pertahanan yang efektif, menguasai jalur perdagangan darat dan laut, serta menopang populasi yang besar dan berkembang. Pemilihan Pakuan sebagai ibu kota tidak hanya mencerminkan kekuasaan politik, tetapi juga sebuah strategi cerdas untuk memanfaatkan keunggulan geografis demi kemakmuran dan keamanan kerajaan.

Peta Stylized Wilayah Pajajaran Outline geografis Jawa Barat dan Banten yang mewakili wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Pakuan Banten Cirebon
Estimasi wilayah kekuasaan Pajajaran, berpusat di Pakuan.

Sistem Pemerintahan dan Administrasi

Struktur pemerintahan Kerajaan Pajajaran mencerminkan sebuah sistem yang terorganisir dan hierarkis, yang berpusat pada seorang raja sebagai pemimpin tertinggi. Sistem ini tidak hanya berorientasi pada kekuasaan politik, tetapi juga sangat terkait dengan nilai-nilai keagamaan dan adat istiadat Sunda.

Raja sebagai Pusat Kekuasaan

Raja memiliki kedudukan yang sangat sakral, dianggap sebagai penjelmaan dewa atau wakilnya di bumi. Gelar-gelar yang digunakan, seperti "Sri Baduga Maharaja", menunjukkan kemuliaan dan kekuasaan yang tak terbatas. Raja adalah pembuat hukum, panglima tertinggi, hakim tertinggi, dan pelindung agama. Namun, kekuasaan raja tidak absolut tanpa batasan; ia harus memerintah berdasarkan dharma (kebenaran) dan keadilan, serta mendengarkan nasihat dari para penasihat kerajaan.

Struktur Hierarki

Di bawah raja, terdapat berbagai lapisan pejabat yang membantu menjalankan roda pemerintahan:

  1. Menteri dan Penasihat: Para menteri utama atau "mantri" bertanggung jawab atas berbagai bidang, seperti keuangan, pertahanan, dan hubungan luar negeri. Mereka membentuk dewan penasihat yang memberikan masukan kepada raja. Keberadaan menteri-menteri ini menunjukkan spesialisasi dalam administrasi.
  2. Bupati dan Penguasa Daerah: Kerajaan Pajajaran terbagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh bupati atau penguasa lokal. Mereka bertanggung jawab atas pengumpulan pajak, menjaga ketertiban, dan memimpin pasukan di wilayahnya masing-masing. Loyalitas para bupati ini sangat penting untuk stabilitas kerajaan.
  3. Pemimpin Desa (Buyut/Rawayan): Di tingkat paling bawah, terdapat pemimpin desa yang bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Mereka mengurus masalah-masalah sehari-hari, menyelesaikan sengketa lokal, dan memastikan pelaksanaan adat istiadat.
  4. Rohaniwan dan Cendekiawan: Golongan ini, seperti para "resiguru" atau "bujangga", memegang peran penting dalam memberikan legitimasi religius bagi kekuasaan raja, serta menyebarkan ajaran agama dan menjaga tradisi pengetahuan. Mereka seringkali juga berfungsi sebagai penasihat spiritual bagi raja.

Hukum dan Keadilan

Pajajaran memiliki sistem hukum yang jelas, sebagaimana tercermin dalam naskah "Sanghyang Siksakanda ng Karesian". Naskah ini bukan hanya panduan etika, tetapi juga mengandung norma-norma hukum yang mengatur perilaku masyarakat, mulai dari tindak pidana hingga masalah-masalah sosial. Keadilan ditegakkan melalui pengadilan yang dipimpin oleh raja atau pejabat yang ditunjuk. Hukuman diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran, dengan tujuan menjaga harmoni dan ketertiban sosial.

Pajak dan Ekonomi

Pendanaan kerajaan berasal dari berbagai sumber, terutama pajak yang ditarik dari hasil pertanian, perdagangan, dan upeti dari daerah taklukan. Pajak dapat berupa hasil bumi atau dalam bentuk barang berharga. Sistem ekonomi yang terorganisir ini memungkinkan kerajaan untuk membiayai angkatan bersenjata, pembangunan infrastruktur, dan kegiatan keagamaan.

Secara keseluruhan, sistem pemerintahan Pajajaran adalah refleksi dari sebuah peradaban yang matang, mampu mengelola wilayah yang luas dan populasi yang beragam. Keteraturan dan hierarki yang kuat menjadi salah satu kunci keberlangsungan dan kejayaan kerajaan selama berabad-abad.

Raja-Raja Terkemuka dan Masa Kejayaan

Sejarah Kerajaan Pajajaran diwarnai oleh kepemimpinan raja-raja besar yang membawa kerajaan pada puncak kejayaan dan menghadapi tantangan zaman. Beberapa di antaranya meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda.

1. Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi): Sang Raja Legendaris

Nama Sri Baduga Maharaja, yang lebih dikenal dengan julukan Prabu Siliwangi, adalah raja paling terkenal dan legendaris dari Kerajaan Pajajaran. Ia memerintah dari tahun 1482 hingga 1521 Masehi. Masa pemerintahannya sering dianggap sebagai "zaman keemasan" Pajajaran, di mana kerajaan mencapai puncak kemakmuran, stabilitas, dan kekuasaan.

Kebijakan dan Prestasi Prabu Siliwangi:

  • Pembangunan Infrastruktur: Prabu Siliwangi dikenal sebagai pembangun yang ulung. Ia memindahkan ibu kota dari Kawali ke Pakuan Pajajaran (Bogor saat ini) dan membangunnya menjadi kota yang megah, teratur, dan dilengkapi dengan sistem pertahanan yang kuat. Pembangunan jalan-jalan, saluran irigasi, dan istana-istana juga menjadi prioritasnya.
  • Administrasi dan Hukum: Ia memperkuat sistem pemerintahan, menyusun dan mengimplementasikan undang-undang, serta memastikan penegakan hukum yang adil. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian, yang berisi pedoman moral dan etika, diyakini dikembangkan dan diterapkan secara luas pada masanya.
  • Ekonomi yang Kuat: Di bawah Prabu Siliwangi, perdagangan berkembang pesat. Pajajaran menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, terutama lada, yang menarik pedagang dari berbagai belahan dunia. Pelabuhan-pelabuhan seperti Kalapa (Sunda Kelapa) menjadi sangat ramai.
  • Pertahanan yang Kuat: Prabu Siliwangi membangun angkatan perang yang tangguh, mampu menjaga kedaulatan kerajaan dari ancaman eksternal. Kujang, senjata khas Sunda, menjadi simbol keberanian pasukannya.
  • Toleransi Beragama: Meskipun Hindu-Buddha adalah agama dominan, Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang toleran terhadap berbagai kepercayaan, termasuk kepercayaan asli Sunda Wiwitan dan awal masuknya Islam. Ini menciptakan harmoni sosial dalam masyarakatnya yang majemuk.
  • Hubungan Luar Negeri: Prabu Siliwangi menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai pihak, termasuk Kesultanan Malaka dan bahkan Portugis. Perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis pada tahun 1522, yang dikenal sebagai Padrao Luso-Sundanese, adalah bukti kebijakannya dalam menjaga keseimbangan kekuatan dan kepentingan ekonomi.

Karena kemahsyuran dan kebijaksanaannya, Prabu Siliwangi menjadi figur sentral dalam cerita rakyat dan mitologi Sunda. Ia sering digambarkan sebagai raja yang sakti mandraguna, adil, dan dicintai rakyatnya. Kisah-kisah tentangnya, meskipun terkadang bercampur dengan mitos, mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan ideal yang dihormati.

2. Surawisesa: Menghadapi Ancaman Baru

Setelah wafatnya Prabu Siliwangi, takhta Pajajaran diwarisi oleh putranya, Surawisesa (memerintah sekitar 1521-1535 Masehi). Masa pemerintahannya merupakan periode yang penuh tantangan, ditandai dengan semakin meningkatnya pengaruh dan ekspansi Kesultanan Demak dan Cirebon yang berideologi Islam. Surawisesa adalah raja yang berani dan cekatan dalam bidang militer. Ia melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kedaulatan Pajajaran.

Perjuangan Surawisesa:

  • Perang Melawan Kesultanan Demak-Cirebon: Surawisesa terlibat dalam serangkaian peperangan melawan pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah. Peristiwa paling penting adalah jatuhnya Pelabuhan Kalapa pada tahun 1527 ke tangan Fatahillah, yang kemudian mengubah namanya menjadi Jayakarta. Kehilangan pelabuhan vital ini merupakan pukulan besar bagi ekonomi dan pertahanan Pajajaran.
  • Mempertahankan Kedaulatan: Meskipun kehilangan Kalapa, Surawisesa berhasil mempertahankan ibu kota Pakuan Pajajaran dari serangan langsung. Ia dikenal sering memimpin pasukannya sendiri dalam pertempuran, menunjukkan kepemimpinan militer yang kuat.
  • Memperkuat Aliansi: Surawisesa melanjutkan kebijakan ayahnya dalam mencari aliansi. Perjanjian dengan Portugis yang telah dimulai oleh Prabu Siliwangi, meskipun tidak sepenuhnya efektif dalam menghentikan ekspansi Islam, tetap menunjukkan upayanya mencari dukungan eksternal.

Masa Surawisesa adalah masa transisi, di mana Pajajaran mulai merasakan tekanan dari kekuatan baru yang sedang tumbuh di pesisir utara Jawa. Meskipun demikian, ia berhasil menjaga eksistensi kerajaan di tengah badai ancaman.

3. Raga Mulya (Prabu Suryakancana): Raja Terakhir

Raja-raja setelah Surawisesa terus berjuang mempertahankan Pajajaran dari gempuran. Raja terakhir Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya, yang juga dikenal sebagai Prabu Suryakancana. Ia memerintah pada akhir abad ke-16, ketika Pajajaran sudah dalam posisi yang sangat terdesak.

Akhir Sebuah Era:

  • Tekanan dari Banten: Pada masanya, ancaman terbesar datang dari Kesultanan Banten yang telah tumbuh menjadi kekuatan militer dan ekonomi yang sangat dominan di Jawa bagian barat. Banten, yang didirikan oleh Maulana Hasanuddin (putra Sunan Gunung Jati), secara bertahap mempersempit wilayah Pajajaran.
  • Krisis Internal: Selain ancaman eksternal, Pajajaran juga menghadapi krisis internal, termasuk kemungkinan perselisihan suksesi dan berkurangnya kesetiaan dari beberapa wilayah bawahan.
  • Peristiwa Kejatuhan: Pada tahun 1579 Masehi, Kesultanan Banten melancarkan serangan terakhir ke Pakuan Pajajaran. Ibu kota berhasil direbut dan dihancurkan. Prabu Raga Mulya dan sebagian besar keluarga kerajaan serta para pembesar istana menyingkir ke daerah pedalaman, menjaga kelangsungan tradisi Sunda yang kemudian dikenal sebagai Kaum Baduy.

Kejatuhan Pajajaran menandai berakhirnya sebuah era kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat. Namun, warisan budayanya tetap hidup dan terus dihormati oleh masyarakat Sunda. Kisah raja-raja ini, dari pendiri hingga raja terakhir, menggambarkan dinamika sebuah peradaban yang berjuang untuk eksistensi dan kejayaan.

Kehidupan Sosial, Budaya, dan Keagamaan

Kehidupan sosial dan budaya di Kerajaan Pajajaran sangatlah kaya dan kompleks, mencerminkan perpaduan antara tradisi lokal Sunda dengan pengaruh Hindu-Buddha yang telah mengakar kuat selama berabad-abad. Masyarakatnya hidup dalam tatanan yang teratur dengan nilai-nilai luhur sebagai pedoman.

Stratifikasi Sosial

Masyarakat Pajajaran umumnya terbagi dalam beberapa lapisan sosial, meskipun tidak sekaku sistem kasta di India:

  1. Para Bangsawan (Menak): Terdiri dari raja, keluarga kerajaan, dan pejabat tinggi. Mereka memegang kekuasaan politik, ekonomi, dan seringkali juga spiritual.
  2. Rohaniwan (Resi, Bujangga): Golongan ini sangat dihormati karena peran mereka dalam menjaga ajaran agama, menafsirkan naskah kuno, dan memberikan bimbingan spiritual. Mereka juga seringkali menjadi penasihat raja.
  3. Prajurit dan Abdi Dalem: Pasukan kerajaan dan para pekerja di istana yang melayani keluarga raja dan pejabat tinggi.
  4. Rakyat Jelata (Rea): Mayoritas penduduk yang bekerja sebagai petani, pedagang, pengrajin, dan lain-lain. Mereka adalah tulang punggung ekonomi kerajaan.
  5. Budak/Hamba: Meskipun tidak menjadi fitur utama, terdapat kelompok masyarakat yang memiliki status kurang bebas, seringkali karena hutang atau hukuman.

Mobilitas sosial dimungkinkan, meskipun tidak mudah. Seseorang dapat naik status melalui prestasi dalam perang, pendidikan, atau pengabdian kepada kerajaan.

Agama dan Kepercayaan

Kerajaan Pajajaran menganut sinkretisme agama yang unik:

  • Hindu-Buddha: Merupakan agama resmi kerajaan dan dianut oleh sebagian besar kaum bangsawan dan cendekiawan. Pengaruh ajaran Siwa-Buddha sangat kental, dengan pemujaan terhadap dewa-dewi Hindu dan ajaran Buddha Mahayana. Kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan Hindu-Buddha banyak ditemukan di wilayah Pajajaran.
  • Sunda Wiwitan: Ini adalah kepercayaan asli masyarakat Sunda yang berfokus pada penghormatan terhadap leluhur (karuhun), alam (gunung, sungai, hutan), dan Tuhan Yang Maha Esa (Sanghyang Kersa). Nilai-nilai Sunda Wiwitan seperti menjaga harmoni alam dan memuliakan leluhur tetap hidup berdampingan dengan Hindu-Buddha. Prabu Siliwangi dikenal sebagai raja yang menghargai dan melindungi kepercayaan ini.
  • Toleransi: Salah satu ciri khas Pajajaran adalah toleransi beragama yang tinggi. Berbagai kepercayaan dapat hidup berdampingan, menciptakan masyarakat yang relatif damai. Bahkan ketika Islam mulai masuk, Pajajaran berusaha beradaptasi dan berinteraksi secara damai di awal, meskipun kemudian terjadi konflik politik.

Seni dan Arsitektur

Pajajaran meninggalkan warisan seni dan arsitektur yang khas:

  • Bangunan Keagamaan: Candi dan petilasan berciri Hindu-Buddha ditemukan, meskipun tidak sebesar candi-candi di Jawa Tengah atau Timur. Sebagian besar mungkin terbuat dari kayu yang tidak bertahan lama.
  • Seni Ukir dan Pahat: Relief dan ukiran pada batu atau kayu menggambarkan cerita-cerita epik, dewa-dewi, serta flora dan fauna lokal.
  • Aksara dan Naskah Kuno: Aksara Kaganga (aksara Sunda kuno) digunakan untuk menuliskan naskah-naskah lontar dan daun nipah. Naskah-naskah seperti "Carita Parahyangan", "Sanghyang Siksakanda ng Karesian", dan "Bujangga Manik" adalah permata sastra dan sejarah yang berisi informasi tentang kehidupan kerajaan, ajaran moral, dan perjalanan spiritual.
  • Seni Pertunjukan: Meskipun tidak banyak catatan detail, seni pertunjukan seperti tarian, musik gamelan, dan wayang kulit (dengan ciri khas Sunda) diyakini telah berkembang pesat di istana dan di masyarakat.

Adat Istiadat dan Etika

Masyarakat Pajajaran menjunjung tinggi adat istiadat dan etika luhur. Naskah "Sanghyang Siksakanda ng Karesian" adalah bukti betapa pentingnya pendidikan moral dan perilaku. Nilai-nilai seperti silih asih, silih asah, silih asuh (saling mengasihi, saling mengasah, saling mengasuh), gotong royong, dan penghormatan terhadap orang tua serta leluhur adalah inti dari kehidupan sosial mereka.

Melalui kebudayaan yang kaya ini, Pajajaran membentuk identitas Sunda yang kuat, yang terus berkembang dan diwarisi hingga generasi sekarang.

Simbol Aksara Kaganga Representasi sederhana dari aksara Sunda kuno atau Kaganga, simbol pengetahuan dan naskah kuno Pajajaran.
Ilustrasi aksara Kaganga, warisan tulis Kerajaan Pajajaran.

Ekonomi dan Perdagangan

Ekonomi Kerajaan Pajajaran sangat bergantung pada sektor pertanian, namun perdagangan, terutama perdagangan maritim, memainkan peran krusial dalam kemakmuran dan kekuasaan kerajaan. Letak geografis Pajajaran yang strategis di jalur perdagangan antara Asia Timur dan Asia Barat menjadi faktor penentu kemajuan ekonominya.

Sektor Pertanian

Pertanian adalah tulang punggung kehidupan ekonomi masyarakat Pajajaran. Tanah di Jawa Barat yang subur, terutama di dataran rendah dan lembah sungai, sangat cocok untuk budidaya padi. Sistem irigasi tradisional yang disebut "pengairan" atau "ngalimpas" telah dikembangkan untuk mengairi sawah-sawah, memastikan hasil panen yang melimpah. Selain padi, berbagai komoditas pertanian lain juga ditanam, seperti palawija, sayur-mayur, dan buah-buahan.

Produk pertanian ini tidak hanya untuk konsumsi domestik, tetapi juga untuk diperdagangkan di pasar-pasar lokal dan diekspor. Surplus hasil pertanian menjadi fondasi bagi stabilitas pangan dan pertumbuhan populasi kerajaan.

Perdagangan dan Komoditas Ekspor

Pajajaran adalah pemain penting dalam jaringan perdagangan regional dan internasional. Komoditas ekspor utamanya adalah:

  • Lada: Rempah-rempah ini adalah primadona ekspor Pajajaran. Permintaan lada di pasar internasional, terutama dari Eropa dan Timur Tengah, sangat tinggi. Ladalah yang menarik perhatian bangsa Portugis untuk menjalin hubungan dagang dan politik dengan Pajajaran.
  • Beras: Surplus beras dari pertanian juga diekspor, terutama ke daerah-daerah lain di Nusantara yang kekurangan pasokan pangan.
  • Emas dan Perak: Meskipun tidak sebesar Sumatra atau Kalimantan, ada indikasi bahwa Pajajaran juga memiliki tambang emas dan perak yang hasil tambangnya turut diperdagangkan.
  • Hasil Hutan: Kayu-kayu berkualitas tinggi, getah, dan hasil hutan lainnya juga menjadi bagian dari komoditas perdagangan.

Pelabuhan dan Jalur Perdagangan

Kerajaan Pajajaran menguasai beberapa pelabuhan vital di pesisir utara Jawa, yang menjadi pintu gerbang utama perdagangan maritimnya:

  1. Pelabuhan Kalapa (Sunda Kelapa): Ini adalah pelabuhan terbesar dan paling penting bagi Pajajaran, terletak di muara Sungai Ciliwung (sekarang Jakarta). Kalapa menjadi pusat pertemuan pedagang dari berbagai bangsa, termasuk Gujarat, Tiongkok, Arab, dan kemudian Portugis. Di sinilah perjanjian Padrao Luso-Sundanese ditandatangani.
  2. Pelabuhan Cimanuk: Terletak di muara Sungai Cimanuk (sekarang Indramayu), pelabuhan ini juga memiliki peran penting, terutama untuk melayani wilayah timur Pajajaran.
  3. Pelabuhan Karawang: Pelabuhan ini juga berkontribusi pada arus perdagangan di wilayah pantai utara.

Melalui pelabuhan-pelabuhan ini, Pajajaran tidak hanya mengekspor komoditas, tetapi juga mengimpor barang-barang dari luar, seperti kain sutra, keramik, perhiasan, dan senjata. Keberadaan mata uang, meskipun seringkali juga menggunakan sistem barter, menunjukkan adanya ekonomi yang terstruktur.

Kekuatan ekonomi inilah yang memungkinkan Pajajaran untuk membiayai angkatan bersenjata yang kuat, membangun infrastruktur, dan memelihara kehidupan istana yang megah. Kemakmuran dari perdagangan inilah yang turut menarik perhatian kekuatan-kekuatan baru, baik dari dalam maupun luar Nusantara, yang pada akhirnya akan menjadi tantangan besar bagi kelangsungan Pajajaran.

Militer dan Pertahanan

Keberlangsungan Kerajaan Pajajaran selama berabad-abad tidak lepas dari kekuatan militer dan sistem pertahanan yang efektif. Meskipun seringkali digambarkan sebagai kerajaan agraris dan budaya, Pajajaran juga memiliki kemampuan militer yang tidak bisa diremehkan, terutama di bawah kepemimpinan raja-raja seperti Prabu Siliwangi dan Surawisesa.

Organisasi Militer

Angkatan perang Pajajaran terdiri dari beberapa komponen:

  • Pasukan Inti (Kawali): Pasukan yang terlatih dan profesional, loyal langsung kepada raja. Mereka ditempatkan di ibu kota dan pos-pos strategis.
  • Pasukan Regional: Setiap bupati atau penguasa daerah wajib menyediakan pasukan dari wilayahnya untuk kepentingan kerajaan jika terjadi perang. Pasukan ini mungkin terdiri dari petani atau rakyat biasa yang dilatih secara berkala.
  • Pasukan Pengawal Raja: Pasukan khusus yang bertugas menjaga keamanan raja dan istana.

Kepemimpinan militer tertinggi berada di tangan raja. Selain itu, terdapat panglima-panglima perang yang bertanggung jawab atas strategi dan taktik di medan perang.

Senjata dan Perlengkapan

Pasukan Pajajaran menggunakan berbagai jenis senjata tradisional:

  • Kujang: Ini adalah senjata khas Sunda yang paling ikonik. Kujang bukan hanya alat tempur, tetapi juga memiliki makna spiritual dan simbolik yang mendalam. Kujang digunakan dalam pertempuran jarak dekat dan sebagai simbol status.
  • Tombak dan Pedang: Senjata-senjata ini umum digunakan oleh infanteri.
  • Busur dan Panah: Digunakan untuk serangan jarak jauh.
  • Tameng: Perisai digunakan untuk melindungi diri dari serangan musuh.

Selain senjata, pasukan juga dilengkapi dengan pakaian perang dan perlengkapan lainnya. Meskipun tidak ada catatan rinci tentang artileri berat seperti meriam di awal sejarahnya, pada masa-masa akhir Pajajaran mungkin telah memiliki akses atau pengetahuan tentang senjata api melalui kontak dengan pedagang asing.

Strategi Pertahanan

Strategi pertahanan Pajajaran memanfaatkan kondisi geografis Jawa Barat yang berbukit dan bergunung. Ibu kota Pakuan Pajajaran dibangun di lokasi yang strategis, sulit dijangkau musuh, dan dikelilingi oleh benteng alam. Selain itu, Pajajaran juga membangun:

  • Benteng dan Tembok Pertahanan: Di sekeliling ibu kota dan kota-kota penting lainnya dibangun tembok dan parit pertahanan.
  • Pos-pos Penjagaan: Di sepanjang perbatasan dan jalur-jalur penting ditempatkan pos-pos penjagaan untuk memantau pergerakan musuh dan memberikan peringatan dini.
  • Perjanjian dan Aliansi: Selain kekuatan militer, Pajajaran juga menggunakan diplomasi untuk menjaga keamanannya. Perjanjian dengan Portugis adalah salah satu upaya untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Demak dan Cirebon.

Meskipun pada akhirnya Pajajaran runtuh, hal ini bukan karena kelemahan mutlak militernya, melainkan kombinasi dari tekanan kekuatan yang jauh lebih besar, perubahan lanskap politik regional, dan mungkin pula faktor internal. Sejarah mencatat bahwa Pajajaran mampu bertahan dari berbagai invasi selama berabad-abad, menunjukkan ketangguhan militernya.

Simbol Kujang, Senjata Tradisional Sunda Representasi Kujang, senjata khas Sunda yang juga simbol kebudayaan Pajajaran.
Kujang, senjata tradisional dan simbol keperkasaan Pajajaran.

Hubungan Luar Negeri dan Dinamika Regional

Kerajaan Pajajaran tidak hidup dalam isolasi, melainkan aktif terlibat dalam dinamika politik dan ekonomi regional. Hubungan luar negerinya membentuk corak sejarah dan menentukan nasibnya di kemudian hari.

Hubungan dengan Kerajaan Nusantara

  1. Majapahit: Hubungan dengan Majapahit di Jawa Timur adalah salah satu yang paling kompleks. Di satu sisi, ada sejarah konflik, terutama Perang Bubat pada abad ke-14 yang tragis, yang menciptakan permusuhan mendalam antara Sunda dan Jawa. Namun, di sisi lain, ada juga interaksi budaya dan perdagangan yang berkelanjutan. Meskipun permusuhan politik sering terjadi, jalur perdagangan dan pertukaran budaya tetap berjalan.
  2. Cirebon dan Banten: Seiring berjalannya waktu, munculah kekuatan-kekuatan baru di pesisir utara Jawa, yaitu Kesultanan Cirebon dan Banten. Awalnya, Cirebon memiliki hubungan kekerabatan dengan Pajajaran melalui pernikahan. Namun, perbedaan ideologi agama (Islam vs. Hindu-Buddha/Sunda Wiwitan) dan ambisi politik menyebabkan hubungan ini memburuk. Pada akhirnya, kedua kesultanan ini menjadi ancaman terbesar bagi eksistensi Pajajaran.
  3. Demak: Kesultanan Demak di Jawa Tengah adalah kekuatan Islam yang sangat ekspansif. Demak, bersama dengan Cirebon, melancarkan serangan terhadap wilayah-wilayah Pajajaran, terutama pelabuhan-pelabuhan penting di pantai utara.

Hubungan dengan Kekuatan Asing (Portugis)

Salah satu babak paling menarik dalam hubungan luar negeri Pajajaran adalah kontak dengan Portugis. Pada awal abad ke-16, Portugis telah menguasai Malaka dan mencari jalur perdagangan baru untuk rempah-rempah. Pajajaran, yang khawatir akan ekspansi Kesultanan Demak dan Cirebon, melihat Portugis sebagai sekutu potensial yang dapat mengimbangi kekuatan Islam.

Pada tahun 1522, Duta Pajajaran, Surawisesa (saat itu masih pangeran), menandatangani perjanjian persahabatan dengan Portugis di Malaka. Perjanjian ini, yang dikenal sebagai Padrao Luso-Sundanese, berisi kesepakatan bahwa Portugis akan diberikan izin untuk membangun benteng di Pelabuhan Kalapa sebagai imbalan atas bantuan militer jika Pajajaran diserang. Sebagai tanda perjanjian, didirikanlah sebuah batu prasasti (padrao) di Kalapa.

Namun, perjanjian ini tidak pernah terealisasi sepenuhnya. Sebelum Portugis dapat mengirimkan bala bantuan dan membangun benteng, Fatahillah, panglima perang dari Demak dan Cirebon, menyerang dan berhasil merebut Kalapa pada tahun 1527. Peristiwa ini mengubah peta politik Jawa Barat secara drastis dan menjadi awal kemunduran Pajajaran.

Dampak Hubungan Luar Negeri

Hubungan luar negeri Pajajaran menunjukkan kebijaksanaan para pemimpinnya dalam mencari solusi atas ancaman yang dihadapi. Namun, juga memperlihatkan bahwa dalam dinamika politik regional yang cepat berubah, strategi kadang tidak berjalan sesuai harapan. Kegagalan aliansi dengan Portugis menjadi salah satu faktor penting dalam keruntuhan Pajajaran, meskipun bukan satu-satunya. Interaksi ini juga membawa dampak pada pertukaran budaya dan teknologi, meskipun pada masa akhir lebih banyak diwarnai konflik.

Naskah Kuno dan Sumber Sejarah

Rekonstruksi sejarah Kerajaan Pajajaran sangat bergantung pada penemuan dan penafsiran naskah-naskah kuno serta peninggalan arkeologi. Sumber-sumber ini memberikan jendela menuju masa lalu yang telah lama berlalu.

Naskah-Naskah Utama

  1. Carita Parahyangan: Ini adalah naskah Sunda kuno yang paling penting untuk sejarah Pajajaran. Ditulis pada daun lontar, naskah ini berisi silsilah raja-raja Sunda-Galuh dari masa Tarusbawa hingga raja-raja terakhir Pajajaran. "Carita Parahyangan" memberikan gambaran tentang peristiwa-peristiwa penting, kepemimpinan raja-raja, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Meskipun mengandung unsur mitologis, ia adalah sumber primer yang tak tergantikan.
  2. Sanghyang Siksakanda ng Karesian: Naskah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah teks didaktis yang berisi ajaran-ajaran moral, etika kepemimpinan, dan panduan hidup bagi masyarakat. Ditulis pada masa Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), naskah ini menggambarkan tatanan sosial, hukum, dan keagamaan di Pajajaran. Ia memberikan wawasan mendalam tentang filosofi hidup dan kebijaksanaan Sunda kuno.
  3. Bujangga Manik: Sebuah naskah autobiografi perjalanan seorang pertapa bernama Bujangga Manik yang mengembara melintasi Pulau Jawa. Naskah ini sangat berharga karena memberikan deskripsi detail tentang geografi, tempat-tempat suci, dan kondisi sosial di berbagai wilayah, termasuk wilayah Pajajaran pada abad ke-15.
  4. Perjalanan Pangeran Wangsakerta (Naskah Wangsakerta): Kumpulan naskah yang dikompilasi oleh Pangeran Wangsakerta dari Cirebon pada abad ke-17. Meskipun kontroversi mengenai keaslian dan validitasnya masih diperdebatkan di kalangan sejarawan, naskah ini mencoba merekonstruksi sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, termasuk Pajajaran, dengan merujuk pada berbagai sumber lain. Jika digunakan dengan hati-hati dan kritis, ia dapat memberikan informasi tambahan.

Sumber Eksternal

  • Catatan Portugis: Catatan dari para penjelajah dan pedagang Portugis pada awal abad ke-16, seperti Tomé Pires dalam karyanya "Suma Oriental", memberikan informasi berharga tentang Pajajaran dari sudut pandang asing. Mereka mencatat tentang kekayaan perdagangan, struktur politik, dan hubungan Pajajaran dengan kekuatan lain, termasuk perjanjian dengan Portugis.
  • Kronik Tiongkok: Beberapa catatan Tiongkok kuno juga menyebutkan tentang kerajaan-kerajaan di Jawa bagian barat yang kemungkinan besar adalah kerajaan pendahulu atau Pajajaran itu sendiri.

Peninggalan Arkeologi

Selain naskah, situs-situs arkeologi juga menjadi sumber informasi penting:

  • Prasasti Batu Tulis, Bogor: Prasasti ini adalah salah satu peninggalan paling autentik yang secara langsung berhubungan dengan Prabu Siliwangi. Isi prasasti menyebutkan tentang Sri Baduga Maharaja dan pembangunan infrastruktur di Pakuan Pajajaran.
  • Situs Kawali, Ciamis: Berisi beberapa prasasti batu yang berasal dari masa Kerajaan Galuh, pendahulu Pajajaran, yang memberikan informasi tentang raja-raja awal dan batas wilayah.
  • Bekas Pemandian dan Struktur Kota: Di sekitar wilayah Bogor, terdapat sisa-sisa struktur kota kuno, pemandian, dan jejak-jejak lain yang diyakini merupakan bagian dari Pakuan Pajajaran.

Melalui perpaduan analisis filologi terhadap naskah dan interpretasi arkeologis terhadap peninggalan material, para sejarawan terus berupaya merangkai kembali gambaran utuh tentang Kerajaan Pajajaran, memastikan bahwa kisahnya tidak hilang ditelan zaman.

Simbol Lontar atau Naskah Kuno Dua lembar lontar terbuka, mewakili sumber sejarah dan naskah kuno Pajajaran.
Lontar dan aksara kuno, jendela menuju sejarah Pajajaran.

Kejatuhan Kerajaan Pajajaran

Masa kejayaan Kerajaan Pajajaran, meskipun berlangsung lama, pada akhirnya harus menghadapi takdir keruntuhan. Kejatuhan ini bukan disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan akumulasi dari berbagai tekanan, baik internal maupun eksternal, yang mengubah lanskap politik dan keagamaan di Jawa Barat.

Faktor Eksternal: Ekspansi Islam dan Kekuatan Baru

  1. Munculnya Kesultanan Islam: Sejak abad ke-15, Islam mulai menyebar secara masif di pesisir utara Jawa, didukung oleh para wali dan pedagang. Berdirinya Kesultanan Demak, Cirebon, dan kemudian Banten, menciptakan kekuatan-kekuatan baru yang berlawanan dengan ideologi Hindu-Buddha/Sunda Wiwitan yang dianut Pajajaran.
  2. Jatuhnya Pelabuhan Kalapa (1527): Ini adalah pukulan telak bagi Pajajaran. Pelabuhan Kalapa, yang merupakan urat nadi ekonomi dan gerbang internasional Pajajaran, direbut oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah. Hilangnya Kalapa, yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta, memutus akses Pajajaran ke jalur perdagangan maritim dan sumber daya finansial yang vital. Peristiwa ini juga menunjukkan kegagalan perjanjian aliansi dengan Portugis.
  3. Pengepungan dan Serangan Bertubi-tubi: Setelah kehilangan Kalapa, wilayah Pajajaran terus menyusut akibat serangan dan tekanan dari Kesultanan Banten dan Cirebon. Banten, yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin (putra Sunan Gunung Jati), secara bertahap menaklukkan wilayah-wilayah Pajajaran di bagian barat, termasuk daerah-daerah penghasil lada.

Faktor Internal: Konflik dan Perubahan Sosial

  1. Perselisihan Suksesi: Seperti banyak kerajaan lain, Pajajaran mungkin mengalami periode ketidakstabilan akibat perselisihan antar anggota keluarga kerajaan atau perebutan takhta. Konflik internal semacam ini dapat melemahkan persatuan dan kekuatan kerajaan.
  2. Pergeseran Demografi dan Keyakinan: Seiring berjalannya waktu, sebagian masyarakat Pajajaran, terutama di daerah pesisir, mulai memeluk Islam. Pergeseran keyakinan ini dapat menciptakan ketegangan sosial dan melemahkan loyalitas terhadap pusat kerajaan yang masih berpegang pada tradisi lama.
  3. Ketergantungan pada Pertahanan Darat: Setelah kehilangan pelabuhan, Pajajaran lebih banyak mengandalkan kekuatan darat dan pertahanan di pedalaman. Namun, ini tidak cukup untuk mengatasi kekuatan maritim dan militer yang terus berkembang dari kesultanan-kesultanan pesisir.

Peristiwa Kejatuhan Akhir (1579 Masehi)

Puncak keruntuhan terjadi pada tahun 1579 Masehi, ketika Kesultanan Banten, di bawah kepemimpinan Maulana Yusuf (putra Maulana Hasanuddin), melancarkan serangan terakhir ke ibu kota Pakuan Pajajaran. Setelah pengepungan yang sengit, kota Pakuan Pajajaran berhasil direbut dan dihancurkan. Raja terakhir, Prabu Raga Mulya (Prabu Suryakancana), bersama para pembesar istana dan sebagian kecil rakyatnya, memutuskan untuk menyingkir ke daerah pedalaman yang sulit dijangkau, yaitu Gunung Halimun.

Penyingkiran ini, yang dikenal dengan istilah "ngahiang" atau "moksa" dalam beberapa cerita rakyat, adalah sebuah upaya untuk menjaga kemurnian tradisi dan keyakinan Sunda Wiwitan dari pengaruh asing. Keturunan mereka diyakini menjadi cikal bakal masyarakat Baduy di pedalaman Banten, yang hingga kini masih memegang teguh adat istiadat leluhur mereka.

Kejatuhan Pajajaran menandai berakhirnya periode kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat dan dimulainya dominasi kesultanan-kesultanan Islam. Namun, ini bukanlah akhir dari peradaban Sunda. Sebaliknya, ia menjadi titik tolak bagi transformasi dan adaptasi kebudayaan Sunda dalam konteks yang baru.

Warisan dan Peninggalan Pajajaran

Meskipun Kerajaan Pajajaran telah runtuh secara politik, warisan dan peninggalannya tetap hidup dan membentuk identitas masyarakat Sunda hingga saat ini. Jejak-jejak peradaban yang ditinggalkan Pajajaran begitu mendalam, meliputi aspek budaya, spiritual, filosofis, hingga geografis.

Warisan Budaya

  • Bahasa Sunda: Bahasa Sunda modern memiliki akar yang kuat dari bahasa Sunda kuno yang digunakan pada masa Pajajaran. Naskah-naskah kuno seperti "Carita Parahyangan" dan "Sanghyang Siksakanda ng Karesian" adalah bukti kekayaan linguistik dan sastra periode tersebut.
  • Aksara Kaganga: Meskipun kini jarang digunakan, aksara Kaganga atau aksara Sunda kuno adalah sistem penulisan yang dikembangkan di masa Pajajaran dan menjadi identitas visual kebudayaan Sunda. Upaya revitalisasi aksara ini masih terus dilakukan.
  • Seni dan Tradisi: Berbagai bentuk kesenian Sunda, seperti gamelan, wayang golek, tarian tradisional, dan seni ukir, diyakini memiliki akar dan pengembangan awal pada masa Pajajaran. Filosofi dan nilai-nilai yang terkandung dalam seni ini seringkali mencerminkan ajaran Sunda Wiwitan atau Hindu-Buddha.
  • Kujang: Senjata tradisional Kujang tidak hanya sebuah artefak, tetapi simbol kebudayaan Sunda, keberanian, dan identitas. Ia mencerminkan keahlian metalurgi dan seni ukir pada masa Pajajaran.

Warisan Spiritual dan Filosofis

  • Sunda Wiwitan: Kepercayaan asli Sunda Wiwitan, yang dihormati dan dilindungi pada masa Pajajaran, terus dilestarikan oleh masyarakat Baduy dan beberapa kelompok adat lainnya. Ajaran-ajarannya tentang harmoni dengan alam, penghormatan leluhur, dan keselarasan hidup adalah inti dari kearifan lokal Sunda.
  • Nilai-nilai Luhur: Filosofi hidup seperti "cageur, bageur, bener, pinter, singer" (sehat, baik, benar, pintar, terampil), serta "silih asih, silih asah, silih asuh" (saling mengasihi, saling mengasah, saling mengasuh) adalah warisan tak tertulis dari Pajajaran yang masih relevan dalam etika dan moral masyarakat Sunda.
  • Prabu Siliwangi sebagai Arketipe: Sosok Prabu Siliwangi telah menjadi arketipe pemimpin ideal, bijaksana, sakti, dan adil. Kisah-kisahnya, meskipun seringkali bercampur mitos, berfungsi sebagai pengingat akan nilai-nilai kepemimpinan yang baik dan keberanian dalam mempertahankan jati diri.

Peninggalan Geografis dan Arkeologi

  • Situs Batu Tulis, Bogor: Prasasti ini adalah peninggalan langsung dari Prabu Siliwangi yang masih dapat dilihat hingga kini, menjadi bukti fisik keberadaan dan kemegahan Pakuan Pajajaran.
  • Situs-situs Arkeologi: Berbagai situs seperti Situs Kawali di Ciamis, sisa-sisa bangunan di Bogor, dan petilasan-petilasan lain tersebar di Jawa Barat, menawarkan petunjuk tentang struktur kota, pusat ibadah, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Pajajaran.
  • Nama-nama Tempat: Banyak nama tempat, gunung, dan sungai di Jawa Barat yang memiliki kaitan historis dengan Kerajaan Pajajaran, mencerminkan jejak geografis kekuasaannya.

Relevansi di Masa Kini

Warisan Pajajaran tidak hanya relevan sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga sebagai sumber inspirasi untuk membangun masa depan. Nilai-nilai kearifan lokal, semangat menjaga lingkungan, dan etika kepemimpinan yang baik adalah pelajaran berharga yang dapat dipetik dari peradaban ini. Masyarakat Sunda modern terus berupaya melestarikan dan mengembangkan warisan Pajajaran, memastikan bahwa kisah tentang kerajaan yang megah ini tetap hidup dan relevan di tengah arus modernisasi.

Dengan demikian, Kerajaan Pajajaran bukan hanya sebuah babak yang telah berlalu dalam sejarah Indonesia, melainkan sebuah fondasi peradaban yang terus membentuk dan memperkaya kebudayaan Nusantara, khususnya di Tanah Pasundan.

🏠 Homepage