Representasi visual sederhana tentang pemekaran wilayah administratif di Indonesia.
Membicarakan sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia selalu menarik untuk ditelaah, terutama ketika kita menyoroti periode Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Periode ini, yang berlangsung selama kurang lebih tiga dekade, bukan hanya menandai stabilitas politik yang diklaim, tetapi juga mengalami transformasi signifikan dalam tata kelola wilayah negara. Salah satu aspek yang paling relevan dan sering menjadi perbincangan adalah pada zaman orde baru jumlah provinsi di indonesia adalah berapa banyak, dan bagaimana angka tersebut berevolusi seiring berjalannya waktu.
Ketika Orde Baru dimulai secara resmi, Indonesia mewarisi struktur provinsi dari era sebelumnya. Namun, pemerintah Orde Baru memiliki agenda pembangunan terpusat yang membutuhkan kontrol administratif yang lebih efisien di berbagai daerah. Hal ini mendorong kebijakan pembentukan dan penataan ulang wilayah administrasi, termasuk provinsi.
Pada awal rezim Orde Baru, jumlah provinsi yang ada masih relatif sedikit dibandingkan dengan era reformasi saat ini. Pada masa transisi menuju konsolidasi kekuasaan, fokus utama adalah memastikan bahwa semua wilayah—terutama yang baru diintegrasikan seperti Timor Timur (yang saat itu diakui sebagai provinsi ke-27)—berada di bawah kendali Jakarta.
Meskipun angka pastinya dapat bervariasi tergantung pada tahun spesifik dalam rentang Orde Baru (1966-1998), satu periode yang menjadi patokan adalah menjelang akhir kekuasaan Orde Baru. Pemerintahan pada masa ini cenderung mempertahankan jumlah provinsi yang relatif stabil, meskipun terjadi penambahan yang signifikan dan strategis.
Salah satu ciri khas Orde Baru dalam tata ruang wilayah adalah pemekaran provinsi, meskipun laju pemekaran menjadi jauh lebih intensif setelah Orde Baru runtuh. Selama Orde Baru, pemekaran biasanya dilakukan untuk tujuan administratif dan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di wilayah yang luas atau memiliki populasi yang signifikan namun terisolasi.
Pada akhir periode Orde Baru, terutama dalam dekade 1990-an, pemerintah mulai membuka diri terhadap pemekaran baru. Provinsi-provinsi baru ini dibentuk seringkali sebagai respons terhadap aspirasi lokal dan kebutuhan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Misalnya, pembentukan provinsi baru di Papua atau di Sumatera, meskipun dilakukan dengan pertimbangan ketat dari pusat.
Untuk menjawab secara spesifik pertanyaan mengenai pada zaman orde baru jumlah provinsi di indonesia adalah, kita perlu melihat data menjelang lengsernya Presiden Soeharto. Sebelum era reformasi melahirkan gelombang pemekaran besar-besaran (yang dimulai tahun 1999), jumlah provinsi di Indonesia cenderung berkisar antara 26 hingga 27 provinsi, tergantung pada status wilayah kontroversial pada waktu itu (Timor Timur).
Struktur provinsi pada era Orde Baru dirancang untuk mendukung model pembangunan yang sangat terpusat. Gubernur dan pemerintah daerah berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat di Jakarta. Jumlah provinsi yang relatif sedikit (dibandingkan saat ini) memungkinkan kontrol politik dan koordinasi ekonomi yang lebih mudah di bawah satu garis komando yang kuat.
Meskipun pemekaran terjadi, sifatnya masih sangat terukur dan dikendalikan oleh pemerintah pusat. Tidak ada desentralisasi fiskal yang signifikan; dana pembangunan dan pengambilan keputusan strategis tetap berada di tingkat pusat. Oleh karena itu, perubahan jumlah provinsi pada zaman Orde Baru adalah sebuah proses yang lambat, hati-hati, dan bertujuan untuk efisiensi administrasi dalam kerangka ideologi pembangunan yang seragam. Perbedaan mendasar dengan era setelahnya adalah bahwa pemekaran saat Orde Baru lebih bersifat top-down, sementara pemekaran pasca-reformasi seringkali didorong oleh desentralisasi dan aspirasi otonomi daerah yang lebih kuat.
Kesimpulannya, meskipun angka pastinya bervariasi sedikit dalam kurun waktu tiga dekade tersebut, gambaran umum pada zaman orde baru jumlah provinsi di indonesia adalah sebuah angka yang jauh lebih kecil dari hari ini, mencerminkan struktur negara yang lebih terkonsolidasi dan terpusat di bawah kendali tunggal.