Musaqat: Akad Kerja Sama Pertanian dalam Fiqih Islam
Dalam lanskap ekonomi Islam, berbagai bentuk kerja sama telah dirumuskan untuk mendorong pertumbuhan dan distribusi kekayaan yang adil. Salah satu bentuk akad yang fundamental, khususnya dalam sektor pertanian, adalah musaqat. Akad ini mencerminkan kearifan Islam dalam mengatur hubungan antara pemilik modal atau sumber daya dengan pihak yang memiliki keahlian dan tenaga. Musaqat bukan sekadar kontrak bisnis, melainkan sebuah manifestasi dari nilai-nilai tolong-menolong, keadilan, dan produktivitas yang dianjurkan dalam syariat.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang musaqat, mulai dari definisi, dasar hukum, rukun dan syarat, hingga penerapannya dalam konteks modern. Pemahaman mendalam tentang musaqat sangat penting, tidak hanya bagi para praktisi fiqih dan ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat luas yang ingin memahami prinsip-prinsip kerja sama yang berlandaskan syariat Islam, terutama dalam sektor pertanian yang vital bagi kelangsungan hidup umat manusia.
1. Definisi Musaqat
Untuk memahami esensi musaqat, kita perlu meninjau definisinya, baik secara etimologi maupun terminologi syar'i.
1.1. Definisi Etimologi (Secara Bahasa)
Kata "musaqat" (مساقاة) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata سقى - يسقي - سقيًا (saqa - yasqi - saqyan), yang berarti 'mengairi' atau 'menyirami'. Makna dasar ini menyoroti aktivitas utama dalam akad musaqat, yaitu penyiraman atau pemeliharaan tanaman, khususnya pohon. Oleh karena itu, secara harfiah, musaqat dapat diartikan sebagai "saling mengairi" atau "akad pengairan". Meskipun demikian, makna terminologisnya meluas mencakup seluruh aspek pemeliharaan yang diperlukan agar pohon dapat berbuah.
1.2. Definisi Terminologi (Secara Syar'i)
Secara istilah syar'i, para ulama fiqih memiliki beberapa rumusan definisi yang intinya serupa, tetapi dengan penekanan yang berbeda. Beberapa definisi yang representatif adalah:
Mazhab Hanafi: Mengidentifikasi musaqat sebagai akad atas manfaat pohon buah-buahan dengan imbalan bagian tertentu dari buah. Dalam pandangan mereka, musaqat mirip dengan ijarah (sewa-menyewa), namun dengan objek yang tidak pasti (buah). Mereka cenderung lebih membatasi cakupan musaqat.
Mazhab Maliki: Mendefinisikan musaqat sebagai akad antara pemilik pohon buah-buahan dan penggarap untuk menyirami dan memelihara pohon tersebut dengan imbalan bagian tertentu dari buah yang dihasilkan. Mereka memperluas cakupan pekerjaan yang termasuk dalam pemeliharaan.
Mazhab Syafi'i: Mengartikan musaqat sebagai akad atas pohon buah-buahan antara pemiliknya dan orang yang akan mengurusnya dengan bagian tertentu dari buahnya. Mereka menekankan bahwa musaqat adalah bentuk kerja sama khusus yang berbeda dari ijarah atau mudharabah, di mana pekerjaan pokoknya adalah memelihara pohon hingga berbuah.
Mazhab Hanbali: Merumuskan musaqat sebagai akad pemberian sebagian pohon buah-buahan kepada seseorang untuk diurus (disirami dan dipelihara) dengan imbalan bagian tertentu yang diketahui dari buahnya. Mazhab ini menjadikan hadits Khaibar sebagai dasar utama legitimasi musaqat, yang akan dijelaskan lebih lanjut.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa musaqat adalah akad kerja sama antara pemilik pohon buah-buahan (atau tanaman sejenis yang menghasilkan) dan seorang penggarap (amil) untuk mengelola, memelihara, dan merawat pohon-pohon tersebut, dengan imbalan bagian tertentu yang telah disepakati dari hasil buah yang dipanen. Akad ini melibatkan upaya penggarap dalam merawat pohon, sementara pemilik pohon menyediakan aset utamanya (pohon) dan menanggung sebagian risiko.
2. Dasar Hukum Musaqat dalam Islam
Legitimasi musaqat dalam fiqih Islam didasarkan pada beberapa sumber hukum utama, yaitu Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi).
2.1. Al-Qur'an
Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan istilah "musaqat", prinsip-prinsip umum yang mendukung akad ini dapat ditemukan dalam beberapa ayat. Ayat-ayat tersebut mendorong kerja sama, keadilan, dan pemanfaatan sumber daya alam. Misalnya:
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Ma'idah ayat 2: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ("...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..."). Ayat ini menjadi landasan umum bagi segala bentuk kerja sama yang baik, termasuk dalam bidang ekonomi seperti musaqat, yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama.
Ayat-ayat yang menganjurkan untuk memakmurkan bumi dan memanfaatkan rezeki dari Allah juga secara tidak langsung mendukung kegiatan pertanian dan kerja sama di dalamnya.
2.2. As-Sunnah (Hadits Nabi)
Hadits Nabi Muhammad SAW adalah dalil utama yang secara spesifik melegitimasi musaqat. Hadits yang paling terkenal adalah terkait dengan Perjanjian Khaibar:
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ ("Sesungguhnya Rasulullah SAW bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan (membagi) separuh dari apa yang keluar dari Khaibar berupa buah-buahan atau hasil tanaman.") (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa Nabi SAW sendiri melakukan akad kerja sama bagi hasil dengan penduduk Khaibar, di mana kaum Yahudi Khaibar sebagai penggarap lahan dan kebun, sementara hasilnya dibagi dua dengan Rasulullah SAW sebagai pemilik lahan. Para ulama fiqih sepakat bahwa hadits ini adalah dasar kuat bagi keabsahan akad musaqat (untuk pohon) dan muzara'ah (untuk tanaman pertanian).
2.3. Ijma' (Konsensus Ulama)
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab fiqih (Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat atas kebolehan musaqat. Meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka mengenai rincian dan syarat-syaratnya, terutama dari sebagian ulama Hanafi yang menganggapnya sebagai bentuk pengecualian dari qiyas (analogi) karena adanya unsur ketidakpastian (gharar) dalam hasil panen, namun secara umum akad ini diterima sebagai sah dalam syariat Islam. Konsensus ini menunjukkan bahwa prinsip musaqat telah diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam sepanjang sejarah.
2.4. Qiyas (Analogi)
Sebagian ulama juga melakukan qiyas musaqat dengan akad-akad lain yang serupa dalam prinsip kerja sama dan bagi hasil, seperti mudharabah (bagi hasil keuntungan modal usaha). Dalam mudharabah, satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga/keahlian, dengan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan. Musaqat memiliki kemiripan, di mana satu pihak menyediakan "modal" berupa pohon, dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian untuk merawatnya, dengan hasil dibagi. Namun, perlu dicatat bahwa musaqat memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dari mudharabah, terutama dalam objek akadnya.
3. Rukun Musaqat
Agar akad musaqat sah dan mengikat, harus terpenuhi rukun-rukunnya. Rukun adalah unsur pokok atau tiang utama yang jika tidak ada, maka akad tersebut tidak sah. Dalam musaqat, rukun-rukunnya meliputi:
3.1. Dua Pihak yang Berakad (العاقدان)
Harus ada dua pihak yang melakukan akad, yaitu:
Pemilik Pohon (رب الشجر): Pihak yang memiliki pohon atau kebun yang akan digarap. Ia bisa perorangan, kelompok, atau badan hukum.
Penggarap (العامل): Pihak yang akan melakukan pekerjaan pemeliharaan dan perawatan pohon. Ia bisa perorangan atau kelompok pekerja.
Kedua pihak ini harus memiliki kecakapan hukum (ahliyah) untuk melakukan transaksi, yaitu baligh, berakal, dan tidak dalam keadaan terpaksa.
3.2. Objek Akad (المعقود عليه)
Objek akad dalam musaqat mencakup dua hal utama:
Pohon atau Kebun Buah-buahan: Pohon-pohon yang menjadi objek musaqat haruslah pohon yang menghasilkan buah atau tanaman sejenis yang tujuan utamanya adalah menghasilkan panen. Ini bisa berupa kurma, anggur, zaitun, apel, dan lain-lain. Ulama berbeda pendapat tentang apakah musaqat hanya berlaku untuk pohon yang sudah berbuah atau juga untuk bibit yang belum berbuah. Mayoritas ulama membolehkan jika pohon sudah menghasilkan atau setidaknya mendekati masa berbuah.
Pekerjaan Pemeliharaan (العمل): Pekerjaan yang akan dilakukan oleh penggarap, meliputi penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma, pemangkasan, penjagaan dari hama, hingga panen.
3.3. Hasil (الثمرة)
Hasil dari pekerjaan ini adalah buah-buahan yang dihasilkan oleh pohon. Hasil ini akan dibagi antara pemilik pohon dan penggarap sesuai nisbah yang disepakati.
3.4. Nisbah Pembagian Hasil (النسبة المشاعة)
Bagian hasil yang akan diterima oleh masing-masing pihak harus ditentukan secara jelas dalam bentuk persentase atau nisbah yang umum (misalnya, setengah, sepertiga, seperempat, atau 30%, 50%, dll.) dari total hasil panen. Nisbah ini harus diketahui dan disepakati bersama pada saat akad. Tidak boleh menentukan bagian hasil dalam bentuk jumlah nominal tertentu (misalnya, 100 kg buah atau Rp 1 juta) karena hal ini mengandung unsur gharar (ketidakpastian) yang tinggi dan dapat memicu sengketa jika panen gagal atau melebihi ekspektasi.
3.5. Shighat (Ijab dan Qabul)
Shighat adalah pernyataan kehendak dari kedua belah pihak yang menunjukkan adanya kesepakatan untuk melakukan akad. Ini bisa berupa:
Ijab: Penawaran dari satu pihak (misalnya, pemilik pohon berkata: "Aku serahkan kebun ini kepadamu untuk kau garap dengan imbalan seperdua hasilnya.")
Qabul: Penerimaan dari pihak lain (penggarap menjawab: "Aku terima.")
Shighat bisa dilakukan secara lisan, tulisan, atau melalui isyarat yang jelas dan dimengerti oleh kedua belah pihak.
4. Syarat-Syarat Musaqat
Selain rukun, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar musaqat sah dan efektif. Syarat-syarat ini dikelompokkan berdasarkan pihak-pihak yang berakad, objek akad, pekerjaan, dan nisbah hasil.
4.1. Syarat bagi Pihak yang Berakad (Pemilik Pohon dan Penggarap)
Ahliyah (Kecakapan Hukum): Kedua belah pihak harus memiliki kecakapan untuk melakukan transaksi, yaitu:
Baligh (dewasa).
Berakal (tidak gila atau kurang waras).
Merdeka (bukan budak).
Tidak dalam keadaan paksaan.
Kerelaan (Ridha): Akad harus dilandasi atas dasar kerelaan dan kesukarelaan dari kedua belah pihak, tanpa ada paksaan.
4.2. Syarat bagi Objek Akad (Pohon/Kebun dan Buah)
Pohon Buah-buahan: Objek musaqat haruslah pohon-pohon yang menghasilkan buah atau tanaman sejenis yang memiliki nilai ekonomi dari buahnya.
Ulama Hanbali dan Syafi'i membolehkan musaqat pada pohon kurma dan anggur (karena ada dalil khusus), dan menganalogikan dengan pohon buah lainnya seperti zaitun, delima, apel, dll.
Ulama Hanafi lebih ketat, pada awalnya hanya membolehkan pada pohon kurma dan anggur, kemudian meluas pada pohon buah-buahan lain yang tidak membutuhkan pemeliharaan tahunan yang berlebihan.
Pohon sudah ada dan berbuah: Sebagian ulama mensyaratkan pohon sudah ada dan sudah mulai menghasilkan buah atau setidaknya sudah mendekati masa berbuah. Musaqat tidak sah untuk bibit pohon yang baru ditanam dan belum diketahui pasti apakah akan berbuah atau tidak dalam waktu dekat, karena mengandung gharar yang terlalu besar.
Milik Penuh: Pohon atau kebun yang menjadi objek akad haruslah milik penuh dan sah dari pemilik pohon, atau setidaknya ia memiliki hak untuk mengelola dan menyerahkannya untuk digarap.
Jumlah dan Lokasi Jelas: Pohon-pohon atau kebun yang akan digarap harus jelas jumlahnya (misalnya, "kebun kurma saya yang berisi 100 pohon") dan lokasi geografisnya.
Tidak Terikat Akad Lain: Pohon atau kebun tersebut tidak sedang terikat dengan akad lain yang bertentangan dengan musaqat, seperti disewakan (ijarah) kepada pihak lain.
4.3. Syarat bagi Pekerjaan
Pekerjaan Jelas: Jenis pekerjaan yang harus dilakukan oleh penggarap harus jelas dan disepakati. Umumnya meliputi penyiraman, pemupukan, pemangkasan, pembersihan, perlindungan dari hama, dan panen.
Pekerjaan Tidak Haram: Pekerjaan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam.
Penggarap Menanggung Pekerjaan Pokok: Umumnya, pekerjaan pokok yang menumbuhkan dan memelihara buah (seperti penyiraman dan pemeliharaan rutin) adalah tanggung jawab penggarap. Sedangkan pekerjaan berat yang sifatnya membangun atau memperbaiki aset dasar (misalnya, menggali sumur baru, membangun pagar kebun) adalah tanggung jawab pemilik pohon, kecuali disepakati lain.
4.4. Syarat bagi Nisbah Pembagian Hasil
Nisbah Jelas dan Diketahui: Bagian dari hasil panen yang akan diterima oleh masing-masing pihak (pemilik dan penggarap) harus ditentukan secara jelas dalam bentuk persentase atau nisbah pada saat akad dilangsungkan. Contoh: "masing-masing setengah", "pemilik sepertiga, penggarap dua pertiga", atau "40% untuk pemilik, 60% untuk penggarap".
Nisbah Bukan Nominal Tetap: Tidak boleh menetapkan nisbah dalam bentuk jumlah nominal tertentu dari buah (misalnya, "pemilik mendapat 100 kg kurma" atau "penggarap mendapat uang Rp 5 juta") karena ini mengandung unsur gharar dan dapat merugikan salah satu pihak jika panen gagal atau melimpah. Nisbah harus berupa bagian yang bersifat proporsional dari total hasil panen.
Nisbah dari Semua Hasil: Pembagian hasil harus berlaku untuk semua buah yang dihasilkan dari kebun tersebut, bukan hanya sebagian saja.
5. Perbedaan Pandangan Madzhab Mengenai Musaqat
Meskipun mayoritas ulama sepakat tentang keabsahan musaqat, terdapat beberapa perbedaan pandangan antar madzhab fiqih mengenai rincian dan syarat-syarat tertentu:
5.1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi cenderung melihat musaqat sebagai pengecualian dari qiyas (analogi hukum umum), karena adanya unsur gharar (ketidakpastian) dalam hasil panen, yang biasanya dihindari dalam akad sewa (ijarah). Oleh karena itu, mereka sangat ketat dalam syarat-syaratnya:
Objek Musaqat: Awalnya, mereka hanya membolehkan musaqat pada pohon kurma dan anggur, berdasarkan hadits Khaibar. Kemudian, sebagian ulama Hanafi memperluasnya ke pohon buah-buahan lain yang tidak membutuhkan pekerjaan berat yang terus-menerus.
Pekerjaan: Mereka membedakan antara pekerjaan yang "berulang dan tahunan" (misalnya penyiraman, pemupukan, panen) yang menjadi tanggung jawab penggarap, dan pekerjaan "tambahan atau pembangunan" (misalnya menggali sumur, membangun pagar) yang menjadi tanggung jawab pemilik.
Durasi Akad: Mereka mensyaratkan durasi akad yang jelas.
Status: Meskipun membolehkan, mereka cenderung menganggapnya sebagai 'akad yang fasid (rusak)' jika tidak memenuhi semua syarat ketat, atau 'akad yang makruh' jika ada keraguan.
5.2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki lebih luas dalam membolehkan musaqat dan cenderung lebih fleksibel:
Objek Musaqat: Membolehkan musaqat pada semua jenis pohon buah-buahan, bahkan juga pada tanaman yang ditanam di lahan yang sama (jika pekerjaan utamanya tetap pada pohon).
Pekerjaan: Mereka memandang bahwa semua pekerjaan yang diperlukan untuk perawatan pohon hingga berbuah adalah tanggung jawab penggarap, kecuali jika ada kesepakatan lain yang jelas. Pekerjaan yang sifatnya pembangunan lahan tetap menjadi tanggung jawab pemilik.
Durasi Akad: Tidak mensyaratkan durasi yang sangat ketat, tetapi disarankan untuk disepakati hingga panen.
5.3. Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i juga membolehkan musaqat dan memiliki syarat-syarat yang rinci:
Objek Musaqat: Membolehkan musaqat pada pohon kurma dan anggur, dan menganalogikan ke pohon buah-buahan lain yang membutuhkan perawatan tahunan (bukan hanya semusim). Tidak sah untuk tanaman semusim (seperti gandum atau padi) karena itu masuk kategori muzara'ah.
Pekerjaan: Pekerjaan yang menjadi tanggung jawab penggarap adalah pekerjaan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kematangan buah. Pemilik bertanggung jawab atas pekerjaan yang sifatnya dasar dan membangun (misalnya, menyediakan alat-alat besar atau perbaikan irigasi).
Nisbah: Harus jelas dan bukan nominal.
Durasi Akad: Harus ditentukan durasi yang memungkinkan pohon berbuah, atau sampai masa panen.
5.4. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali termasuk yang paling kuat dalam membolehkan musaqat, dengan menjadikan hadits Khaibar sebagai dalil utama:
Objek Musaqat: Membolehkan musaqat pada pohon kurma dan anggur, serta semua pohon buah-buahan lain. Sebagian ulama Hanbali bahkan memperluasnya hingga tanaman yang bijinya tertanam di tanah (seperti gandum), sehingga mencakup muzara'ah.
Pekerjaan: Penggarap bertanggung jawab atas semua pekerjaan yang diperlukan untuk produksi buah, sementara pemilik menyediakan air jika sumbernya dari sumur atau sungai yang membutuhkan biaya.
Nisbah: Harus berupa bagian yang disepakati dari total hasil.
Durasi Akad: Harus ditentukan durasinya.
Perbedaan-perbedaan ini menunjukkan kekayaan interpretasi dalam fiqih Islam dan fleksibilitas syariat dalam mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat, sambil tetap menjaga prinsip-prinsip keadilan dan menghindari gharar yang berlebihan.
6. Jenis-Jenis Akad Pertanian dan Perbandingannya
Selain musaqat, dalam fiqih muamalah juga dikenal akad-akad kerja sama pertanian lainnya yang memiliki kemiripan namun dengan perbedaan objek dan fokus. Tiga akad utama yang sering dibahas bersama musaqat adalah muzara'ah dan mukhabarah.
6.1. Musaqat (مساقاة)
Definisi: Akad kerja sama untuk memelihara pohon buah-buahan dengan bagi hasil buahnya.
Objek: Pohon buah-buahan (kurma, anggur, zaitun, dll.). Pekerjaan utamanya adalah merawat pohon hingga berbuah.
Tanggung Jawab Penggarap: Pemeliharaan pohon (penyiraman, pemupukan, pemangkasan, panen).
Tanggung Jawab Pemilik: Menyediakan pohon/kebun.
Hasil: Buah-buahan dari pohon tersebut.
Contoh: Pemilik kebun kurma menyerahkan perawatan kebunnya kepada seorang petani, dan hasil panen kurma dibagi dua.
6.2. Muzara'ah (مزارعة)
Definisi: Akad kerja sama pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan menyediakan tanah, dan penggarap menyediakan benih serta pekerjaannya, dengan bagi hasil tanaman yang dihasilkan.
Objek: Tanah pertanian yang akan ditanami tanaman semusim (padi, gandum, jagung, kapas, dll.).
Tanggung Jawab Penggarap: Menyediakan benih, mengolah tanah, menanam, merawat tanaman, dan panen.
Tanggung Jawab Pemilik: Menyediakan lahan pertanian.
Hasil: Tanaman pertanian (padi, gandum, dll.).
Perbedaan Pokok dengan Musaqat: Objeknya adalah tanah untuk tanaman semusim, dan penggarap menyediakan benih.
Contoh: Pemilik sawah menyewakan sawahnya kepada petani, petani menyediakan benih dan menggarap, kemudian hasil padi dibagi sesuai kesepakatan.
6.3. Mukhabarah (مخابرة)
Definisi: Akad kerja sama pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan menyediakan tanah, dan penggarap hanya menyediakan pekerjaannya, sementara benih disediakan oleh pemilik lahan, dengan bagi hasil tanaman yang dihasilkan.
Objek: Tanah pertanian yang akan ditanami tanaman semusim.
Tanggung Jawab Penggarap: Mengolah tanah, menanam, merawat tanaman, dan panen.
Tanggung Jawab Pemilik: Menyediakan lahan pertanian dan benih.
Perbedaan Pokok dengan Muzara'ah: Benih disediakan oleh pemilik lahan.
Perbedaan Pokok dengan Musaqat: Objeknya adalah tanah untuk tanaman semusim, bukan pohon buah-buahan, dan benih disediakan pemilik.
Contoh: Pemilik ladang menyediakan ladang dan benih jagung kepada petani, petani mengolah dan menanam, kemudian hasil jagung dibagi sesuai kesepakatan.
6.4. Perbandingan Ketiga Akad
Berikut adalah tabel perbandingan untuk memudahkan pemahaman:
Fitur
Musaqat
Muzara'ah
Mukhabarah
Objek Akad
Pohon buah-buahan
Tanah untuk tanaman semusim
Tanah untuk tanaman semusim
Pihak Pertama (Pemilik)
Pemilik pohon/kebun
Pemilik lahan
Pemilik lahan
Pihak Kedua (Penggarap)
Penggarap/petani
Penggarap/petani
Penggarap/petani
Penyedia Benih
Tidak relevan (pohon sudah ada)
Penggarap
Pemilik lahan
Pekerjaan Utama
Merawat dan memelihara pohon
Mengolah tanah, menanam, merawat tanaman
Mengolah tanah, menanam, merawat tanaman
Hasil
Buah-buahan
Hasil tanaman (padi, gandum, dll.)
Hasil tanaman (padi, gandum, dll.)
Dalil Utama
Hadits Khaibar (untuk pohon)
Hadits Khaibar (untuk tanaman)
Hadits Khaibar (untuk tanaman)
Meskipun ada perbedaan dalam rinciannya, ketiga akad ini (musaqat, muzara'ah, mukhabarah) memiliki benang merah yang sama, yaitu semangat kerja sama dan bagi hasil yang adil dalam sektor pertanian, yang diakui dan dilegitimasi oleh syariat Islam.
7. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak yang Berakad
Untuk memastikan kelancaran dan keadilan dalam musaqat, penting untuk memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak.
7.1. Hak dan Kewajiban Pemilik Pohon (رب الشجر)
Hak:
Menerima bagian dari hasil panen sesuai nisbah yang disepakati.
Meminta penggarap untuk melaksanakan pekerjaannya sesuai kesepakatan dan standar perawatan yang layak.
Memperoleh informasi mengenai kondisi pohon dan progres perawatan.
Kewajiban:
Menyediakan pohon atau kebun yang menjadi objek musaqat dalam kondisi yang memungkinkan untuk digarap.
Menyerahkan pohon atau kebun tersebut kepada penggarap untuk diurus.
Memenuhi bagian penggarap dari hasil panen sesuai nisbah yang disepakati.
Menanggung biaya-biaya yang bersifat pokok dan pembangunan (misalnya, perbaikan irigasi besar, penggalian sumur, pembelian alat berat jika disepakati) kecuali ada kesepakatan lain.
Tidak mengganggu pekerjaan penggarap selama akad berlangsung.
7.2. Hak dan Kewajiban Penggarap (العامل)
Hak:
Menerima bagian dari hasil panen sesuai nisbah yang disepakati.
Mengelola dan merawat pohon atau kebun tanpa gangguan dari pemilik.
Mendapatkan dukungan yang disepakati dari pemilik (misalnya, penyediaan alat jika disepakati).
Kewajiban:
Melaksanakan semua pekerjaan pemeliharaan pohon yang diperlukan, meliputi penyiraman, pemupukan, pembersihan, pemangkasan, perlindungan dari hama, hingga panen, dengan sebaik-baiknya.
Menjaga pohon dan kebun dengan amanah seolah-olah miliknya sendiri.
Tidak mengabaikan perawatan atau merusak pohon secara sengaja.
Melaporkan kondisi pohon dan progres pekerjaan kepada pemilik secara berkala.
Tidak menyerahkan pekerjaan kepada pihak ketiga tanpa izin pemilik, kecuali dalam batasan yang wajar (misalnya, mempekerjakan buruh harian di bawah pengawasannya).
8. Pembagian Hasil dan Mekanismenya
Proses pembagian hasil adalah inti dari akad musaqat. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan:
Kapan Dibagikan: Hasil panen dibagi setelah buah dipanen dan dipastikan jumlahnya. Jika ada proses pengolahan awal (misalnya pengeringan kurma), maka pembagian dilakukan setelah proses tersebut selesai dan buah siap untuk dikonsumsi atau dijual.
Bagaimana Menentukan Nisbah: Nisbah harus disepakati di awal akad dan dinyatakan dalam bentuk persentase dari total hasil. Misalnya, 50:50, 40:60, atau 30:70. Nisbah ini berlaku untuk seluruh hasil, tidak hanya sebagian.
Jika Ada Kerusakan atau Kegagalan Panen:
Kerusakan Akibat Bencana Alam (Force Majeure): Jika hasil panen rusak atau gagal total karena sebab yang di luar kendali manusia (misalnya, banjir bandang, kekeringan ekstrem, wabah penyakit tanaman yang tidak dapat dihindari), maka kerugian ditanggung bersama sesuai nisbah. Penggarap tidak wajib mengganti kerugian, dan tidak mendapatkan bagian hasil karena tidak ada hasil.
Kerusakan Akibat Kelalaian Penggarap: Jika kerusakan atau kegagalan panen terjadi karena kelalaian atau kesengajaan penggarap, maka penggarap bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Pemilik dapat menuntut ganti rugi atau pembatalan akad.
Kerusakan Akibat Kelalaian Pemilik: Jika pemilik lalai dalam memenuhi kewajibannya (misalnya, tidak menyediakan air yang disepakati jika itu tanggung jawabnya, atau menghalangi pekerjaan penggarap) sehingga menyebabkan kerugian, maka pemilik yang bertanggung jawab.
Biaya-biaya Tambahan: Biaya operasional rutin yang terkait langsung dengan pekerjaan penggarap (misalnya, pembelian pupuk, pestisida, upah buruh harian untuk panen) biasanya menjadi tanggung jawab penggarap, atau ditanggung bersama dari hasil sebelum pembagian pokok, atau dibebankan kepada pemilik jika disepakati. Ini harus ditentukan secara jelas dalam akad.
9. Berakhirnya Akad Musaqat
Akad musaqat dapat berakhir karena beberapa sebab:
Berakhirnya Durasi Akad: Jika akad musaqat disepakati untuk jangka waktu tertentu, maka akad akan berakhir setelah waktu tersebut habis.
Panen Terakhir Selesai: Jika akad disepakati hingga panen terakhir dari satu siklus produksi buah, maka akad berakhir setelah panen tersebut selesai dan hasil telah dibagi.
Kematian Salah Satu Pihak: Menurut mayoritas ulama, akad musaqat adalah akad yang berakhir dengan kematian salah satu pihak, baik pemilik pohon maupun penggarap. Ini karena akad ini sangat terkait dengan pekerjaan dan keahlian personal penggarap, serta kepemilikan pohon dari pemilik. Ahli waris tidak secara otomatis mengambil alih akad, tetapi mereka dapat membuat akad baru.
Kerusakan atau Punahnya Objek Akad: Jika pohon atau kebun rusak parah atau punah sehingga tidak mungkin lagi menghasilkan buah, maka akad musaqat berakhir.
Pembatalan Akad (Fasakh): Akad dapat dibatalkan jika ada pelanggaran syarat atau rukun, atau jika kedua belah pihak sepakat untuk membatalkannya (iqalah). Misalnya:
Penggarap tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Pemilik menghalangi penggarap atau tidak memenuhi kewajibannya.
Salah satu pihak tidak lagi memiliki ahliyah.
10. Hikmah dan Tujuan Disyariatkannya Musaqat
Pensyariatan musaqat dalam Islam mengandung hikmah dan tujuan yang mulia, antara lain:
Mendorong Produktivitas Pertanian: Musaqat memungkinkan pemanfaatan lahan dan pohon yang mungkin tidak dapat dikelola sendiri oleh pemiliknya. Dengan kerja sama ini, sumber daya pertanian menjadi lebih produktif dan memberikan manfaat maksimal.
Memupuk Semangat Kerja Sama dan Tolong-Menolong: Akad ini menumbuhkan semangat tolong-menolong (ta'awun) antara pemilik modal/sumber daya dengan pihak yang memiliki keahlian dan tenaga. Ini menciptakan sinergi yang saling menguntungkan.
Mewujudkan Keadilan Ekonomi: Pembagian hasil yang proporsional dan transparan sesuai nisbah yang disepakati mencerminkan prinsip keadilan. Kedua belah pihak berbagi risiko dan keuntungan secara adil, menghindari eksploitasi.
Pemanfaatan Sumber Daya yang Tidak Aktif: Musaqat memberikan solusi bagi pemilik pohon yang tidak memiliki waktu atau keahlian untuk mengurus kebunnya, serta memberikan kesempatan kerja bagi mereka yang memiliki keahlian pertanian namun tidak memiliki aset pohon.
Distribusi Pendapatan: Melalui bagi hasil, kekayaan tidak hanya berputar di tangan segelintir orang, tetapi didistribusikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi. Ini sejalan dengan tujuan syariat untuk mengurangi kesenjangan ekonomi.
Menghilangkan Kemalasan: Akad ini mendorong kedua belah pihak untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh, karena hasil yang diperoleh akan bergantung pada upaya dan kondisi panen.
Menciptakan Kestabilan Sosial: Dengan adanya akad kerja sama yang adil, potensi konflik dan kesenjangan sosial dapat diminimalisir, karena setiap pihak merasa dihargai kontribusinya.
11. Musaqat dalam Konteks Modern dan Tantangannya
Meskipun musaqat adalah akad klasik dalam fiqih Islam, relevansinya tetap tinggi dalam konteks pertanian dan ekonomi modern, terutama di negara-negara mayoritas Muslim.
11.1. Relevansi dengan Pertanian Modern
Di era modern, sektor pertanian menghadapi berbagai tantangan, mulai dari modal, teknologi, hingga sumber daya manusia. Musaqat dapat menjadi model kerja sama yang efektif untuk:
Pengelolaan Perkebunan Skala Besar: Pemilik perkebunan besar (misalnya sawit, karet, buah-buahan) yang tidak mampu mengelola sendiri dapat bekerja sama dengan koperasi petani atau kelompok penggarap melalui akad musaqat.
Revitalisasi Pertanian Rakyat: Petani kecil yang tidak memiliki lahan sendiri dapat menjadi penggarap bagi pemilik lahan yang tidak aktif, sehingga meningkatkan produktivitas lahan dan kesejahteraan petani.
Pengembangan Agroindustri: Hasil dari musaqat dapat menjadi bahan baku untuk industri pengolahan makanan atau minuman, menciptakan rantai nilai yang lebih panjang dan bermanfaat.
Adaptasi Perubahan Iklim: Melalui musaqat, risiko kegagalan panen akibat perubahan iklim dapat dibagi, sehingga tidak sepenuhnya ditanggung oleh satu pihak saja.
11.2. Potensi Penerapan dalam Ekonomi Syariah
Musaqat memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam produk-produk keuangan syariah:
Pembiayaan Pertanian Syariah: Lembaga keuangan syariah dapat memfasilitasi akad musaqat antara pemilik kebun dan petani, di mana lembaga bertindak sebagai pihak yang memastikan akad berjalan sesuai syariah, bahkan mungkin turut menyediakan modal kerja tambahan dalam bentuk pembiayaan murabahah atau ijarah untuk peralatan.
Investasi Sektor Pertanian: Investor dapat menanamkan modal pada proyek-proyek pertanian melalui struktur musaqat, dengan berbagi risiko dan keuntungan dari hasil panen. Ini bisa menjadi alternatif investasi yang lebih transparan dan sesuai syariah.
Asuransi Pertanian Syariah (Takaful Pertanian): Untuk mitigasi risiko, akad musaqat dapat digabungkan dengan produk takaful pertanian untuk melindungi kedua belah pihak dari kerugian akibat bencana alam atau kegagalan panen yang tidak terduga.
11.3. Tantangan Implementasi Musaqat Modern
Meskipun relevan, implementasi musaqat dalam konteks modern juga menghadapi beberapa tantangan:
Standardisasi Kontrak: Diperlukan standar kontrak musaqat yang jelas, komprehensif, dan mudah dipahami oleh semua pihak, dengan mempertimbangkan aspek hukum nasional dan fiqih muamalah.
Pengawasan dan Mediasi: Memastikan kedua belah pihak memenuhi kewajiban dan haknya memerlukan mekanisme pengawasan dan mediasi yang efektif untuk mencegah sengketa.
Penentuan Nisbah yang Adil: Menentukan nisbah yang adil dan menguntungkan kedua belah pihak, terutama dengan mempertimbangkan biaya operasional modern (pupuk, pestisida, teknologi irigasi) yang bisa sangat tinggi.
Manajemen Risiko: Sektor pertanian sangat rentan terhadap risiko cuaca, hama, dan fluktuasi harga. Pengelolaan risiko ini harus terintegrasi dalam akad musaqat.
Edukasi dan Literasi: Memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat, terutama petani dan pemilik lahan, tentang musaqat dan manfaatnya dalam sistem ekonomi syariah.
12. Perbandingan Musaqat dengan Akad Fiqih Lain
Untuk lebih memahami keunikan musaqat, penting untuk membandingkannya dengan akad-akad fiqih lainnya yang mungkin memiliki beberapa kemiripan.
12.1. Musaqat vs. Ijarah (Sewa)
Musaqat: Imbalan bagi penggarap adalah bagian dari hasil panen yang tidak pasti. Risiko dibagi antara pemilik dan penggarap.
Ijarah: Imbalan bagi pekerja (penyewa jasa) adalah upah atau sewa yang jumlahnya tetap dan pasti, tidak bergantung pada hasil. Risiko ditanggung sepenuhnya oleh pemilik aset atau penyewa.
Perbedaan Utama: Ketidakpastian hasil dalam musaqat vs. kepastian upah/sewa dalam ijarah.
12.2. Musaqat vs. Mudharabah (Bagi Hasil Keuntungan Modal)
Musaqat: Objeknya adalah pohon atau kebun buah-buahan, dan penggarap menyediakan tenaga serta keahlian. Hasil yang dibagi adalah buah.
Mudharabah: Objeknya adalah modal uang yang diserahkan oleh pemilik modal (shahibul mal) kepada pengelola (mudharib) untuk diinvestasikan dalam suatu usaha. Hasil yang dibagi adalah keuntungan dari usaha tersebut.
Perbedaan Utama: Objek akad (pohon vs. modal uang) dan jenis hasil yang dibagi (buah vs. keuntungan finansial).
12.3. Musaqat vs. Ju'alah (Sayembara/Imbalan)
Musaqat: Akad kerja sama di mana kedua pihak berkontribusi dan berbagi hasil secara proporsional.
Ju'alah: Akad pemberian imbalan atas selesainya suatu pekerjaan atau tercapainya suatu tujuan tertentu, tanpa adanya bagi hasil dari "keuntungan" secara proporsional. Contoh: "Siapa yang menemukan barang saya, akan saya beri imbalan Rp 1 juta."
Perbedaan Utama: Musaqat adalah kerja sama berkesinambungan dengan bagi hasil, sedangkan ju'alah adalah imbalan atas pekerjaan tunggal yang jelas batasnya.
12.4. Musaqat vs. Murabahah (Jual Beli dengan Keuntungan Jelas)
Musaqat: Akad kerja sama dengan bagi hasil dari produksi.
Murabahah: Akad jual beli barang dengan harga yang disebutkan terdiri dari harga pokok dan margin keuntungan yang disepakati. Tidak ada unsur bagi hasil dari produksi.
Perbedaan Utama: Musaqat adalah akad produksi dan bagi hasil, murabahah adalah akad jual beli.
Memahami perbedaan ini membantu dalam menempatkan musaqat pada posisi yang tepat dalam kerangka fiqih muamalah dan menghindari kesalahan dalam penerapannya.
Kesimpulan
Musaqat adalah akad kerja sama pertanian yang telah diakui dan dilegitimasi dalam fiqih Islam berdasarkan dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur'an, As-Sunnah, dan Ijma' ulama. Akad ini melibatkan pemilik pohon atau kebun buah-buahan dan seorang penggarap, dengan tujuan untuk merawat pohon-pohon tersebut hingga berbuah, kemudian hasilnya dibagi sesuai nisbah yang disepakati bersama.
Rukun-rukun musaqat yang meliputi dua pihak yang berakad, objek akad (pohon dan pekerjaan), hasil panen, nisbah pembagian hasil, dan shighat akad, harus terpenuhi dengan syarat-syarat yang jelas untuk menjamin keabsahan dan keadilan. Meskipun terdapat perbedaan pandangan di antara mazhab fiqih mengenai rincian tertentu, inti dari musaqat sebagai akad kerja sama bagi hasil dalam pertanian tetap diterima secara luas.
Hikmah dan tujuan pensyariatan musaqat sangatlah mulia, yaitu mendorong produktivitas pertanian, memupuk semangat kerja sama, mewujudkan keadilan ekonomi, memanfaatkan sumber daya yang tidak aktif, mendistribusikan pendapatan, dan menciptakan kestabilan sosial. Dalam konteks modern, musaqat tetap relevan dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam industri pertanian dan ekonomi syariah, meskipun perlu adaptasi dan standardisasi untuk mengatasi tantangan kontemporer.
Dengan memahami musaqat secara komprehensif, umat Islam dapat menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam sektor pertanian, menciptakan hubungan yang harmonis dan produktif antara pemilik modal dan pekerja, serta berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang berlandaskan keadilan dan keberkahan.