Secara umum, dalam konteks demografi global, rasio jenis kelamin saat lahir cenderung menghasilkan lebih banyak bayi laki-laki daripada perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia populasi, sebuah fenomena menarik mulai terlihat di banyak negara: jumlah populasi wanita mulai melebihi jumlah populasi pria. Fenomena ini bukan hanya kebetulan statistik, melainkan cerminan dari serangkaian faktor biologis, sosial, dan historis yang kompleks.
Alasan paling mendasar mengapa populasi wanita seringkali lebih dominan di usia senja adalah perbedaan harapan hidup. Secara universal, wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria. Rata-rata global menunjukkan bahwa wanita memiliki harapan hidup beberapa tahun lebih tinggi daripada rekan pria mereka. Faktor biologis memainkan peran utama di sini.
Secara genetik, wanita memiliki dua kromosom X (XX), sementara pria memiliki satu X dan satu Y (XY). Kelebihan kromosom X memberikan 'cadangan' genetik yang dapat membantu melawan penyakit atau kerusakan sel. Selain itu, hormon pria, seperti testosteron, dikaitkan dengan perilaku yang lebih berisiko, yang secara tidak langsung meningkatkan mortalitas pria pada usia muda hingga paruh baya. Faktor-faktor ini membuat pria lebih rentan terhadap penyakit kronis dan kecelakaan di usia produktif.
Di banyak negara yang pernah mengalami konflik besar di masa lalu, disparitas gender sangat terlihat dalam statistik populasi. Perang—terutama perang dunia atau konflik internal yang melibatkan wajib militer—secara drastis mengurangi populasi pria dalam kelompok usia tertentu. Misalnya, negara-negara di Eropa Timur masih menunjukkan efek demografi dari kerugian besar populasi pria selama Perang Dunia II, yang dampaknya masih terlihat pada struktur usia populasi mereka saat ini.
Meskipun konflik fisik telah mereda, warisan demografis dari kehilangan besar pria ini tetap bertahan lama, memperkuat dominasi wanita dalam total populasi, terutama di antara generasi lansia.
Di luar faktor biologis dan perang, perilaku risiko yang lebih tinggi di kalangan pria juga berkontribusi pada rasio ini. Statistik menunjukkan bahwa pria lebih sering terlibat dalam kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, bunuh diri, dan penyalahgunaan zat dibandingkan wanita. Gaya hidup yang cenderung lebih 'keras' atau kurang hati-hati dalam menghadapi bahaya seringkali menjadi ciri umum di banyak budaya, yang pada akhirnya mengurangi angka harapan hidup pria.
Selain itu, dalam beberapa konteks sosial, akses terbatas terhadap layanan kesehatan atau keengganan untuk mencari pertolongan medis dini pada pria juga dapat memperburuk prognosis penyakit, sehingga mempercepat perbedaan mortalitas antara kedua jenis kelamin.
Penting untuk dicatat bahwa tren jumlah populasi wanita lebih banyak dari pria bukanlah aturan mutlak di setiap negara. Negara-negara dengan tingkat imigrasi pria yang sangat tinggi (misalnya, negara penghasil minyak yang sangat bergantung pada pekerja migran pria) mungkin menunjukkan rasio di mana pria masih mendominasi. Namun, tren umum yang didorong oleh penuaan populasi global menunjukkan bahwa di sebagian besar negara maju dan berkembang, proporsi wanita di atas usia 50 tahun jauh lebih tinggi daripada pria.
Memahami dinamika ini sangat krusial bagi perencanaan sosial dan ekonomi. Tingginya jumlah populasi wanita lanjut usia memengaruhi kebutuhan layanan kesehatan, pensiun, dan perawatan jangka panjang. Kebijakan publik harus responsif terhadap realitas demografi di mana wanita menjadi segmen populasi yang semakin dominan, khususnya pada segmen usia yang membutuhkan dukungan sosial lebih besar.