Memahami komposisi demografi suatu negara adalah kunci utama dalam merumuskan kebijakan ekonomi dan sosial yang efektif. Salah satu indikator krusial adalah jumlah penduduk usia produktif, yaitu kelompok usia yang secara teoritis mampu menghasilkan barang dan jasa, umumnya didefinisikan sebagai usia antara 15 hingga 64 tahun. Proyeksi mengenai besaran kelompok ini di masa mendatang sangat vital, terutama untuk Indonesia yang tengah menikmati bonus demografi.
Menjelang pertengahan dekade, Indonesia diperkirakan masih berada dalam fase puncak dari bonus demografi yang telah dinikmatinya. Bonus ini terjadi ketika proporsi penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif (anak-anak dan lansia). Fenomena ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan angkatan kerja dan tabungan domestik.
Data historis menunjukkan tren peningkatan yang stabil dalam populasi usia produktif. Namun, bukan hanya mengenai besaran absolutnya, tetapi juga mengenai kualitas dan serapan mereka di pasar kerja. Proyeksi untuk tahun mendatang mengindikasikan bahwa meskipun persentase usia produktif masih dominan, tingkat pertumbuhannya akan mulai melambat seiring dengan penurunan angka kelahiran di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menjadi penanda bahwa periode emas (puncak bonus demografi) harus dimanfaatkan secara maksimal sebelum akhirnya bergeser ke struktur usia yang lebih tua.
Angka spesifik mengenai jumlah penduduk usia produktif di Indonesia tahun mendatang—misalnya pada titik tengah dekade—seringkali menjadi fokus utama lembaga perencanaan nasional. Proyeksi ini didasarkan pada tren fertilitas, mortalitas, dan migrasi yang telah terjadi. Jika tren penurunan angka ketergantungan (rasio antara usia non-produktif terhadap usia produktif) terus berlanjut, Indonesia berpotensi mengalami peningkatan signifikan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, asalkan infrastruktur pendidikan dan kesehatan mampu menopang kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada.
Besarnya jumlah penduduk usia produktif bukanlah jaminan kemakmuran otomatis. Tantangan terbesar yang menyertai angka besar ini adalah bagaimana menciptakan lapangan kerja yang cukup dan berkualitas. Jika penyerapan tenaga kerja tidak optimal, yang terjadi justru beban sosial berupa pengangguran usia produktif akan meningkat. Ini dapat menekan daya beli dan meningkatkan ketidaksetaraan sosial. Oleh karena itu, investasi besar dalam sektor padat karya, pengembangan keterampilan (upskilling dan reskilling), serta mendorong kewirausahaan menjadi agenda mendesak.
Selain itu, kualitas pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan industri masa kini. Memastikan bahwa jutaan penduduk usia produktif yang akan memasuki pasar kerja memiliki literasi digital dan keahlian teknis yang relevan adalah prasyarat mutlak untuk mengubah bonus demografi menjadi dividen demografi yang sesungguhnya. Proyeksi demografi menjadi peta jalan, namun implementasi kebijakan yang responsif adalah kuncinya untuk memaksimalkan potensi demografi Indonesia dalam periode krusial tersebut. Pengawasan terhadap indikator kesehatan dan harapan hidup juga penting, karena ini mempengaruhi berapa lama individu tersebut dapat berkontribusi secara produktif.
Secara keseluruhan, menjelang tahun-tahun mendatang, Indonesia masih memiliki peluang emas yang didukung oleh tulang punggung populasi yang besar dan relatif muda. Namun, momentum ini bersifat terbatas dan memerlukan intervensi kebijakan yang terarah pada peningkatan produktivitas dan inklusivitas ekonomi agar potensi demografi ini dapat terealisasi sepenuhnya menjadi kemakmuran nasional.