Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah resmi diluncurkan, bertujuan menciptakan satu pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Bagi Indonesia, implementasi MEA membawa peluang besar sekaligus tantangan signifikan. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah menyangkut skala dan karakteristik jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, mendekati 280 juta jiwa.
Secara teori, populasi besar adalah aset utama dalam konteks pasar tunggal. Semakin besar jumlah konsumen, semakin besar potensi serapan pasar domestik bagi produk dan jasa yang diperdagangkan dalam lingkup MEA. Indonesia memiliki bonus demografi yang menjanjikan, dengan mayoritas penduduk berada dalam usia produktif. Ini seharusnya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang kuat. Namun, potensi ini terhambat oleh isu fundamental terkait kualitas sumber daya manusia (SDM).
Kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja Indonesia seringkali belum sebanding dengan standar regional. Ketika pasar tenaga kerja dibuka sepenuhnya melalui mekanisme MEA, mobilitas pekerja terampil dari negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, atau Thailand, yang mungkin memiliki tingkat sertifikasi dan penguasaan bahasa asing yang lebih baik, dapat memberikan tekanan kompetitif yang serius. Jika SDM kita tidak siap, populasi besar justru menjadi beban berupa tingginya angka pengangguran terdidik atau ketidakmampuan bersaing di sektor-sektor jasa dan manufaktur bernilai tambah tinggi.
Tantangan lain yang timbul akibat jumlah penduduk Indonesia yang masif adalah isu pemerataan dan infrastruktur. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, mendistribusikan barang dan jasa yang diperdagangkan dalam kerangka MEA menjadi pekerjaan rumah yang kompleks. Logistik menjadi mahal dan seringkali lambat, menciptakan hambatan non-tarif yang secara tidak langsung merugikan daya saing produk lokal di pasar domestik sendiri, apalagi untuk diekspor.
Dalam konteks MEA, hambatan logistik ini diperparah oleh disparitas pembangunan antardaerah. Masyarakat di luar Jawa mungkin memiliki akses yang lebih terbatas terhadap barang impor berkualitas dengan harga kompetitif, sekaligus kesulitan mengakses pasar ekspor. Hal ini menciptakan jurang ekonomi yang harus diatasi agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat liberalisasi ekonomi ini, bukan hanya mereka yang berada di pusat-pusat metropolitan.
Meskipun MEA mendorong perdagangan barang, penetrasi produk impor yang masuk akibat liberalisasi tarif tetap memerlukan daya beli yang memadai dari jumlah penduduk Indonesia. Banyaknya penduduk belum tentu berarti daya beli yang merata atau tinggi. Sebagian besar populasi masih berada dalam kelompok pendapatan menengah ke bawah. Ini menuntut produsen lokal untuk tidak hanya mampu bersaing harga dengan produk ASEAN lainnya, tetapi juga harus mampu menciptakan nilai tambah yang dapat dijangkau oleh mayoritas konsumen domestik.
Jika Indonesia gagal meningkatkan standar hidup secara signifikan, pasar domestik yang besar tersebut justru akan didominasi oleh produk impor yang lebih murah atau berkualitas unggul dari negara anggota MEA lainnya. Regulasi pemerintah, terutama dalam bidang pengawasan barang substitusi dan perlindungan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), menjadi sangat krusial. Tanpa intervensi yang tepat, bonus demografi bisa berubah menjadi krisis demografi dalam konteks pasar bebas regional.
Secara keseluruhan, jumlah penduduk Indonesia adalah pedang bermata dua dalam pelaksanaan MEA. Di satu sisi, ia menawarkan basis konsumen terbesar di Asia Tenggara. Di sisi lain, ia mengekspos kelemahan struktural bangsa, terutama dalam hal kualitas SDM, infrastruktur, dan pemerataan ekonomi. Keberhasilan Indonesia dalam MEA akan sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah dan sektor swasta mampu menginvestasikan sumber daya secara masif dan terarah untuk meningkatkan daya saing kompetitif penduduknya, mengubah angka populasi raksasa menjadi kekuatan ekonomi yang terorganisir dan siap menghadapi persaingan regional yang semakin ketat.