Representasi visual dari keberkahan dan perjalanan spiritual.
Dalam tradisi budaya Indonesia, khususnya di Jawa, hitungan weton telah lama dikenal sebagai metode untuk memahami karakter, nasib, dan kecocokan seseorang. Konsep weton berasal dari perpaduan kalender Saka dan kalender Islam. Pertanyaan sering muncul: bagaimana pandangan Islam mengenai hitungan weton ini? Apakah ada dasar atau anjuran dalam ajaran Islam terkait dengan praktik semacam ini? Artikel ini akan mengupas tuntas hitungan weton dari perspektif Islam, mencoba menyeimbangkan kearifan lokal dengan ajaran agama.
Weton adalah gabungan dari dua unsur utama: neptu hari dan neptu pasaran. Setiap hari dalam seminggu (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) memiliki nilai neptu tertentu, begitu pula lima pasaran dalam kalender Jawa (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage). Penjumlahan nilai neptu hari dan pasaran inilah yang menghasilkan nilai weton seseorang. Nilai ini kemudian digunakan untuk menafsirkan berbagai aspek kehidupan, mulai dari kepribadian, potensi karier, hingga kecocokan dalam pernikahan.
Metode ini pada dasarnya merupakan warisan budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Di kalangan masyarakat tradisional, weton sering kali dijadikan panduan dalam mengambil keputusan penting. Namun, perlu dipahami bahwa weton berakar pada sistem penanggalan dan kepercayaan lokal, yang belum tentu memiliki landasan langsung dalam Al-Qur'an maupun Hadits.
Dalam Islam, kepercayaan terhadap takdir (qadar) adalah salah satu rukun iman. Takdir ini sepenuhnya berada di tangan Allah SWT. Segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, adalah kehendak dan ketetapan-Nya. Ajaran Islam sangat menekankan pentingnya tawakkal (berserah diri kepada Allah) setelah berusaha semaksimal mungkin.
Terkait dengan hitungan weton, para ulama memiliki pandangan yang beragam. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menganggap weton sebagai penentu mutlak nasib seseorang adalah bentuk syirik (menyekutukan Allah). Ini karena mempercayai ada kekuatan lain selain Allah yang bisa mengatur kehidupan manusia. Jika seseorang meyakini bahwa weton bisa menjamin kebahagiaan atau kesialan tanpa melibatkan usaha dan doa kepada Allah, maka hal tersebut bertentangan dengan tauhid.
Namun, ada pula pandangan yang melihat weton sebagai sebuah metode observasi atau ilmu perbintangan yang digunakan untuk memahami potensi dan kecenderungan seseorang. Dalam konteks ini, jika weton hanya dijadikan sebagai alat untuk introspeksi diri, pengingat untuk berbuat baik, atau sekadar pengetahuan budaya tanpa meyakini kekuatan gaibnya, maka sebagian ulama membolehkannya selama tidak melanggar syariat Islam. Kuncinya adalah niat dan keyakinan yang tersemat di dalamnya.
Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Maha Pengatur segala sesuatu. Tidak ada seorang pun atau apa pun yang dapat menentukan nasib seseorang selain Allah. Segala bentuk ramalan atau prediksi yang berlawanan dengan keyakinan ini patut dihindari. Doa, ikhtiar (usaha), dan tawakkal adalah tiga pilar utama yang seharusnya mendasari setiap langkah hidup seorang Muslim.
Jika weton diartikan sebagai alat untuk melihat pola-pola tertentu dalam kehidupan berdasarkan perhitungan kombinasi hari dan pasaran, dan kita tidak meyakini bahwa pola tersebut memiliki kekuatan gaib atau mutlak, maka penggunaannya bisa lebih diterima. Misalnya, jika hasil perhitungan weton menunjukkan kecenderungan sifat tertentu, ini bisa menjadi motivasi untuk memperbaiki diri atau mengembangkan potensi yang ada, dengan tetap memohon pertolongan Allah.
Bagi Anda yang tertarik dengan hitungan weton namun tetap ingin berpegang teguh pada ajaran Islam, berikut beberapa panduan:
Hitungan weton, sebagai bagian dari kearifan lokal, bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Dalam perspektif Islam, kepercayaan mutlak pada weton sebagai penentu nasib adalah hal yang dilarang karena berpotensi menjurus pada syirik. Namun, jika diposisikan sebagai alat bantu untuk introspeksi, pemahaman karakter, dan motivasi untuk berbuat lebih baik, dengan keyakinan penuh bahwa segala sesuatu berada di tangan Allah, maka penggunaannya bisa lebih proporsional. Selalu utamakan tauhid, tawakkal, ikhtiar, dan doa dalam setiap aspek kehidupan Anda. Kunci kebahagiaan dan kesuksesan sejati adalah kedekatan dengan Sang Pencipta.