Dalam budaya Jawa, hitungan weton bukan hanya sekadar penentu nasib atau kecocokan jodoh, melainkan juga memiliki kaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk kegiatan yang berkaitan dengan alam, seperti bercocok tanam. Kepercayaan bahwa waktu yang tepat untuk menanam, memanen, hingga mengolah lahan sangat dipengaruhi oleh pergerakan langit dan bumi, yang tercermin dalam weton, masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat agraris.
Bercocok tanam secara tradisional seringkali melibatkan pertimbangan kalender tradisional yang menyelaraskan pergerakan fase bulan, pancawara (hari pasaran), dan saptawara (hari biasa). Kombinasi dari kedua unsur ini menghasilkan nilai neptu weton yang dipercaya memengaruhi keberuntungan dan keberhasilan suatu usaha. Dengan memahami hitungan weton yang paling selaras dengan kegiatan bercocok tanam, petani diharapkan dapat memperoleh hasil panen yang lebih melimpah, terhindar dari hama penyakit, dan mengalami keberkahan dalam setiap prosesnya.
Setiap individu lahir dengan kombinasi hari lahir (saptawara) dan pasaran (pancawara), yang kemudian diakumulasikan menjadi nilai neptu. Nilai neptu ini menjadi dasar perhitungan weton. Dalam konteks bercocok tanam, perhitungan ini tidak hanya melihat weton individu, tetapi juga mempertimbangkan hari baik untuk melakukan aktivitas pertanian.
Konsep dasarnya adalah mencari kecocokan antara energi alam semesta pada hari tertentu dengan jenis tanaman yang akan ditanam, serta fase pertumbuhan tanaman itu sendiri. Misalnya, ada hari-hari yang dipercaya lebih baik untuk menabur benih, hari lain yang lebih baik untuk menyiangi rumput, dan hari yang optimal untuk memanen. Pemilihan hari ini seringkali dikaitkan dengan pergerakan bulan (misalnya, menjelang bulan purnama atau bulan baru) dan pengaruh elemen-elemen alam yang diwakili oleh masing-masing weton.
Kepercayaan terhadap pengaruh weton dalam bercocok tanam didasarkan pada beberapa prinsip:
Proses perhitungan weton untuk bercocok tanam melibatkan penentuan hari baik berdasarkan neptu yang umum dan juga hari pasaran tertentu. Berikut adalah panduan umum yang sering digunakan:
Umumnya, hari-hari yang dianggap baik untuk bercocok tanam adalah:
Perlu dicatat bahwa ini adalah contoh umum. Setiap daerah atau tradisi lokal mungkin memiliki penafsiran dan perhitungan yang sedikit berbeda. Ada pula perhitungan yang lebih spesifik, misalnya berdasarkan hubungan antara weton individu dengan karakteristik tanah atau jenis tanaman.
Seorang petani yang menerapkan hitungan weton mungkin akan:
Meskipun ilmu pengetahuan modern telah banyak memberikan kemajuan dalam teknik bercocok tanam, kearifan lokal seperti hitungan weton tetap memiliki tempat tersendiri di hati para petani. Kombinasi antara pengetahuan tradisional dan ilmu modern seringkali menghasilkan praktik pertanian yang lebih holistik dan penuh makna.
Penting untuk diingat bahwa hitungan weton adalah sebuah panduan tradisional yang didasarkan pada kepercayaan budaya. Keberhasilan bercocok tanam juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pemilihan varietas unggul, pengelolaan tanah yang baik, irigasi yang memadai, pengendalian hama terpadu, serta kondisi iklim. Namun, bagi banyak petani, menyelaraskan usaha mereka dengan panduan leluhur melalui hitungan weton memberikan ketenangan batin dan harapan tambahan untuk kesuksesan.
Dengan memahami dan menghormati tradisi seperti hitungan weton, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga membuka diri terhadap cara pandang yang lebih luas mengenai hubungan manusia dengan alam.