Dalam khazanah budaya Indonesia, khususnya di tanah Jawa, terdapat sistem perhitungan yang kaya makna, sering kali dikaitkan dengan primbon, weton, dan berbagai aspek kehidupan. Ketika kita berbicara tentang "hitungan Jawa Gus Baha", kita merujuk pada penafsiran dan penjelasan mendalam dari KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, mengenai nilai-nilai dan filosofi di balik tradisi perhitungan Jawa ini. Gus Baha, dengan kedalaman ilmunya dan gaya penjelasannya yang lugas, kerap mengangkat sisi-sisi kearifan lokal yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis, tanpa menafikan nilai budaya yang telah mengakar.
Hitungan Jawa pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang mencoba menghubungkan berbagai fenomena alam, pergerakan benda langit, hingga nasib dan karakter manusia dengan angka-angka tertentu. Sistem ini umumnya melibatkan neptu (nilai angka yang melekat pada hari dan pasaran), dinaungi oleh bintang, dan dipengaruhi oleh unsur-unsur alam. Bagi masyarakat Jawa, perhitungan ini sering digunakan untuk menentukan kecocokan jodoh, waktu yang baik untuk memulai usaha, membangun rumah, hingga memprediksi arah rezeki.
Gus Baha sering kali mengingatkan bahwa inti dari segala perhitungan ini adalah bagaimana kita memaknai setiap momen dan peluang yang diberikan Tuhan. Ia menjelaskan bahwa angka-angka dalam hitungan Jawa bukanlah sekadar simbol mati, melainkan cerminan dari siklus kehidupan dan potensi yang ada dalam diri manusia. Misalnya, weton kelahiran seseorang, yang merupakan kombinasi hari dan pasaran dalam kalender Jawa, dipercaya dapat memberikan gambaran awal mengenai watak, kecenderungan, dan bahkan potensi rezeki seseorang.
Berbeda dengan pandangan yang hanya mengedepankan takhayul, Gus Baha membawa perspektif yang lebih luas. Ia menekankan bahwa ilmu hitung Jawa, jika dipahami dengan benar, dapat menjadi alat bantu untuk lebih mengenal diri sendiri dan bersikap lebih bijaksana dalam menghadapi kehidupan. Dalam penjelasannya, Gus Baha sering kali merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang penciptaan, tanda-tanda kekuasaan Allah, dan pentingnya tawakkal serta ikhtiar.
Menurut Gus Baha, ketika seseorang memahami potensi atau kecenderungan dirinya melalui hitungan Jawa, hal itu justru dapat mendorongnya untuk lebih berusaha keras pada kebaikan dan lebih berhati-hati terhadap hal-hal yang dapat menjerumuskan. Misalnya, jika perhitungan menunjukkan potensi kesulitan dalam aspek finansial, ini bukan berarti seseorang ditakdirkan miskin, melainkan menjadi pengingat untuk lebih giat menabung, berhemat, dan mencari peluang rezeki yang halal. Sebaliknya, jika perhitungan menunjukkan potensi keberuntungan, ini bukan alasan untuk menjadi malas, tetapi dorongan untuk mensyukuri nikmat dan menggunakannya untuk kebaikan.
Gus Baha juga sering kali menggarisbawahi pentingnya "musyarakah" atau kemitraan dengan Tuhan. Segala perhitungan yang ada adalah gambaran potensi, namun hasil akhirnya tetap berada dalam genggaman Allah SWT. Oleh karena itu, tawakkal yang disertai dengan ikhtiar adalah kunci utama. "Jangan sampai kita terlalu percaya pada hitungan sehingga lalai berdoa, atau sebaliknya, terlalu yakin pada doa sampai melupakan usaha," demikian kira-kira petuah yang sering dilontarkan Gus Baha.
Dalam konteks "hitungan Jawa Gus Baha", pemahaman ini dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek:
Intinya, penjelasan Gus Baha mengenai hitungan Jawa bukanlah ajaran yang menafikan syariat atau mendorong kemusyrikan. Sebaliknya, ia mengajak umat untuk melihat tradisi budaya dengan kacamata yang lebih dalam, menemukan hikmah di baliknya, dan menghubungkannya dengan ajaran agama. Dengan demikian, kearifan lokal seperti hitungan Jawa dapat tetap relevan dan memberikan manfaat positif bagi kehidupan umat, senantiasa diiringi dengan keimanan dan ketawakalan kepada Allah SWT.