Indonesia kaya akan warisan budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Salah satu aspek kekayaan tersebut adalah tradisi dan kepercayaan yang telah diwariskan turun-temurun, termasuk dalam hal perhitungan dan penentuan waktu. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa memiliki sistem kalender dan metode perhitungan yang unik, yang seringkali berkaitan erat dengan pembangunan situs-situs bersejarah seperti candi. Salah satu situs yang menarik untuk dibahas dalam kaitan ini adalah Candi Rogohsempoyong, yang konon menyimpan makna mendalam terkait hitungan Jawa.
Candi Rogohsempoyong, meskipun mungkin tidak setenar candi-candi besar seperti Borobudur atau Prambanan, memiliki keunikan tersendiri yang mengundang rasa penasaran para arkeolog, sejarawan, dan masyarakat umum. Lokasinya yang seringkali berada di daerah yang belum terlalu terjamah membuatnya menjadi saksi bisu peradaban masa lalu yang masih menyimpan banyak misteri. Pembahasan mengenai Candi Rogohsempoyong seringkali tidak lepas dari perbincangan tentang bagaimana candi-candi di Nusantara dibangun. Proses pembangunannya tidak hanya melibatkan kemampuan arsitektur dan teknik yang luar biasa, tetapi juga filosofi dan kosmologi yang mendalam, yang tercermin dalam penentuan lokasi, orientasi, hingga detail-detail ukiran.
Di sinilah pentingnya pemahaman tentang hitungan Jawa. Masyarakat Jawa secara tradisional memiliki berbagai sistem penanggalan, yang paling terkenal adalah kalender Saka dan kalender Jawa (yang merupakan modifikasi dari kalender Saka dengan penyesuaian dari kalender Hijriyah). Sistem hitungan ini tidak hanya digunakan untuk menandai waktu dalam keseharian, tetapi juga untuk menentukan hari-hari baik, upacara adat, dan bahkan dalam proses perencanaan pembangunan. Dalam konteks pembangunan candi, penentuan waktu yang tepat, arah mata angin yang strategis, serta tata letak bangunan seringkali didasarkan pada prinsip-prinsip perhitungan Jawa.
Prinsip hitungan Jawa, atau yang sering disebut petungan, mencakup berbagai aspek, mulai dari weton (pasangan hari dan pasaran dalam kalender Jawa), neptu, hingga perhitungan yang lebih kompleks terkait pergerakan benda langit. Para ahli spiritual dan arsitek zaman dahulu diyakini menggunakan ilmu ini untuk memastikan sebuah bangunan memiliki energi yang harmonis dengan alam semesta dan penghuninya. Candi Rogohsempoyong, dengan segala kerahasiaannya, bisa jadi merupakan salah satu manifestasi dari penerapan ilmu tersebut.
Misalnya, dalam penentuan lokasi pembangunan sebuah candi, tidak semata-mata dipilih tempat yang kosong. Ada pertimbangan mengenai titik pertemuan energi alam (sumur-sumur urip), keselarasan dengan aliran air, hingga posisi geografis yang dianggap memiliki kekuatan spiritual tertentu. Hal ini seringkali diinterpretasikan melalui perhitungan-perhitungan tertentu yang hanya dipahami oleh para tetua atau ahli di bidangnya.
Selain itu, orientasi candi terhadap arah mata angin juga sangat penting. Candi-candi Hindu umumnya menghadap timur, melambangkan kelahiran dan kebangkitan, sementara candi Buddha bisa menghadap ke berbagai arah tergantung pada ajarannya. Penentuan arah ini bisa jadi juga dipengaruhi oleh perhitungan siklus tertentu dalam kalender Jawa, atau posisi bintang-bintang pada saat pembangunan dimulai atau diselesaikan.
Penerapan hitungan Jawa pada Candi Rogohsempoyong, jika memang ada, dapat memberikan pemahaman lebih dalam tentang kosmologi dan pandangan dunia masyarakat pendukungnya. Ini bukan sekadar tentang membangun struktur fisik, tetapi tentang menciptakan ruang sakral yang selaras dengan alam dan dimensi spiritual.
Meskipun detail spesifik mengenai hitungan Jawa yang diterapkan pada Candi Rogohsempoyong masih memerlukan penelitian lebih lanjut, beberapa kemungkinan dapat diuraikan. Salah satunya adalah penentuan titi mangsa (waktu yang tepat) untuk memulai pembangunan, melakukan upacara peresmian, atau bahkan penempatan arca-arca penting. Weton para pemimpin atau pemrakarsa pembangunan juga mungkin menjadi pertimbangan dalam menentukan waktu terbaik.
Terdapat pula teori bahwa ukuran dan proporsi candi, termasuk tinggi, lebar, dan jarak antar stupa atau relief, bisa jadi didasarkan pada rasio matematis yang bersumber dari pemahaman numerologi Jawa. Angka-angka tertentu mungkin dianggap memiliki nilai sakral atau membawa keberuntungan. Misalnya, jika ada pola pengulangan angka tertentu pada dimensi candi, ini bisa merujuk pada siklus waktu atau konsep keseimbangan dalam kosmologi Jawa.
Keberadaan Candi Rogohsempoyong juga bisa menjadi titik tolak untuk menggali lebih dalam tentang tradisi pemugaran atau penjagaan situs. Bagaimana masyarakat setempat pada masa lalu atau bahkan hingga kini menjaga kelestarian candi tersebut, seringkali juga dilandasi oleh kearifan lokal dan perhitungan yang selaras dengan alam.
Memahami hitungan Jawa dalam konteks arkeologi seperti Candi Rogohsempoyong membantu kita melampaui sekadar melihat artefak sebagai benda mati. Ini membuka jendela ke dalam cara berpikir, nilai-nilai, dan sistem kepercayaan masyarakat pendukungnya. Hitungan Jawa bukan sekadar angka, melainkan sebuah sistem yang terintegrasi dengan pandangan hidup, yang memandu tindakan manusia dalam berbagai aspek, termasuk seni membangun dan spiritualitas.
Penelitian lebih lanjut terhadap Candi Rogohsempoyong yang dikombinasikan dengan pemahaman mendalam tentang tradisi hitungan Jawa berpotensi mengungkap kepingan sejarah yang hilang, menjelaskan motivasi di balik pembangunan, dan bahkan memberikan inspirasi bagi penataan ruang dan arsitektur kontemporer yang lebih harmonis dengan alam dan budaya lokal. Ini adalah pengingat bahwa warisan leluhur seringkali mengandung kebijaksanaan yang tak ternilai, yang hanya perlu kita gali dan pahami dengan hati terbuka.