Periode Orde Lama di Indonesia, yang berlangsung kurang lebih dari masa kemerdekaan hingga awal kekuasaan Orde Baru, merupakan masa yang penuh gejolak politik dan penataan ulang struktur negara. Salah satu aspek fundamental dalam penataan negara pasca-kemerdekaan adalah pembentukan dan reorganisasi unit administrasi pemerintahan, khususnya pembagian wilayah dalam bentuk provinsi. Pertanyaan mengenai berapa jumlah provinsi di Indonesia pada masa Orde Lama sering kali menjadi titik fokus dalam studi sejarah politik Indonesia karena angka ini tidak statis; ia terus berevolusi seiring dengan tantangan politik domestik dan upaya sentralisasi atau desentralisasi kekuasaan.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, struktur pemerintahan daerah belum sepenuhnya mapan. Pada awalnya, Indonesia hanya terdiri dari delapan provinsi yang dibentuk berdasarkan keputusan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang ditetapkan pada Agustus 1945. Delapan provinsi awal tersebut adalah Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Borneo (Kalimantan), Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil (Nusa Tenggara).
Namun, masa Orde Lama bukanlah periode yang tenang. Agresi Militer Belanda menyebabkan pergeseran signifikan dalam kontrol wilayah. Meskipun demikian, setelah pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir 1949, Republik Indonesia Serikat (RIS) sempat diberlakukan, yang kemudian dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950. Periode setelah 1950 inilah yang secara umum merujuk pada inti dari Orde Lama.
Di bawah sistem parlementer (1950–1959), terjadi upaya signifikan untuk mengakomodasi aspirasi daerah dan mengakui keberagaman etnis dan geografis. Jumlah provinsi mulai bertambah melalui pemekaran. Misalnya, pemecahan provinsi besar menjadi unit yang lebih kecil bertujuan untuk meningkatkan efektivitas administrasi dan mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Puncak dari restrukturisasi wilayah sering kali terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Pada masa ini, kebijakan pemerintah cenderung mengarah pada sentralisasi kekuasaan, namun di sisi lain, diperlukan pula penataan wilayah yang lebih rinci. Salah satu momentum penting adalah ketika Indonesia menghadapi isu Irian Barat (sekarang Papua).
Menentukan satu angka pasti mengenai jumlah provinsi pada masa Orde Lama memerlukan kehati-hatian karena adanya masa transisi dan perubahan status. Pada awal berlakunya UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi landasan hukum utama di era Demokrasi Terpimpin, jumlah provinsi secara resmi diakui berjumlah 21 provinsi. Angka 21 ini mencerminkan konsolidasi wilayah yang telah terjadi setelah berbagai pemekaran yang didahului oleh periode RIS dan beberapa perubahan administratif pasca-kemerdekaan.
Ke-21 provinsi tersebut meliputi provinsi-provinsi yang sudah ada ditambah beberapa pemekaran baru yang signifikan, seperti pemisahan beberapa wilayah di Sumatra dan Kalimantan. Misalnya, Sumatra yang awalnya merupakan satu provinsi besar kemudian dibagi menjadi beberapa provinsi yang lebih kecil. Begitu pula dengan Jawa yang terbagi rata.
Perlu dicatat bahwa angka ini tidak permanen hingga akhir Orde Lama. Meskipun tahun 1965 sering dijadikan batas akhir Orde Lama secara politik, kondisi administrasi sebelum transisi penuh ke Orde Baru masih menunjukkan dinamika. Namun, jika merujuk pada struktur administrasi yang mapan di bawah landasan hukum utama era Demokrasi Terpimpin, angka 21 provinsi adalah jawaban yang paling sering ditemukan dalam literatur sejarah administrasi negara.
Struktur provinsi yang berjumlah puluhan ini mencerminkan upaya besar Indonesia untuk menata unit-unit pemerintahan yang luas di tengah keterbatasan infrastruktur dan tantangan separatisme. Provinsi berfungsi sebagai alat utama pemerintah pusat untuk menjalankan kebijakan di daerah. Semakin banyak provinsi, secara teori, akan semakin mudah pengawasan dan implementasi kebijakan, meskipun hal ini juga menuntut alokasi anggaran dan sumber daya manusia yang lebih besar di tingkat daerah.
Struktur pada masa Orde Lama berbeda jauh dengan era reformasi di mana jumlah provinsi terus bertambah secara masif. Pada masa itu, pembentukan provinsi baru biasanya harus melalui persetujuan legislatif yang didominasi oleh kebijakan politik pusat, bukan semata-mata berdasarkan pertumbuhan demografi atau kebutuhan otonomi daerah seperti yang terjadi kemudian.
Secara ringkas, dinamika penataan wilayah di Indonesia pada masa Orde Lama menunjukkan sebuah proses adaptasi yang berkelanjutan dari kondisi pasca-kolonial menuju negara kesatuan yang terintegrasi. Meskipun angka awal dimulai dari delapan provinsi, jumlah yang paling stabil dan signifikan yang diakui secara formal di bawah kerangka hukum Demokrasi Terpimpin adalah sekitar 21 provinsi. Angka ini adalah representasi dari peta administrasi Indonesia sebelum era desentralisasi yang lebih luas di masa Reformasi dimulai.