Seni musik tradisional Indonesia kaya akan keberagaman instrumen yang memukau. Salah satu instrumen yang paling ikonik dan mendunia adalah angklung. Keunikan angklung tidak hanya terletak pada suaranya yang merdu, tetapi juga pada material dasarnya yang sangat erat kaitannya dengan alam Indonesia, yaitu bambu. Ya, angklung terbuat dari bambu, sebuah tanaman serbaguna yang tumbuh subur di berbagai penjuru nusantara.
Bambu dipilih sebagai material utama angklung bukan tanpa alasan. Struktur bambu yang berongga dan memiliki ruas-ruas yang kuat namun ringan menjadikannya ideal untuk menghasilkan suara yang spesifik. Selain itu, jenis bambu yang digunakan juga memiliki pengaruh terhadap kualitas bunyi. Umumnya, bambu yang dipakai adalah bambu hitam (Apus) atau bambu wulung, yang dikenal memiliki serat yang padat dan suara yang jernih serta resonan.
Proses pembuatan angklung melibatkan keahlian tangan yang tinggi. Bambu dipilih, dibersihkan, dan dipotong sesuai ukuran yang diinginkan untuk menghasilkan nada tertentu. Setiap bilah bambu akan diukir atau dipahat dengan presisi untuk mendapatkan tinggi nada yang akurat. Bilah-bilah inilah yang kemudian disusun dalam sebuah kerangka sedemikian rupa sehingga ketika digoyangkan, bilah-bilah tersebut akan saling berbenturan dan menghasilkan suara. Keindahan angklung terbuat dari bambu adalah bagaimana alam mentah diubah menjadi sebuah alat musik yang mampu membangkitkan emosi dan kebersamaan.
Angklung memiliki akar sejarah yang panjang di Indonesia, terutama di tanah Sunda, Jawa Barat. Konon, angklung awalnya digunakan sebagai alat pemanggil roh atau sebagai bagian dari ritual kesuburan dalam kepercayaan masyarakat agraris. Seiring waktu, fungsinya berkembang menjadi instrumen musik yang dimainkan dalam berbagai upacara adat, perayaan, bahkan sebagai media hiburan. Keberadaan angklung terbuat dari bambu menjadi saksi bisu evolusi budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Pada perkembangannya, angklung tidak hanya dimainkan secara individual, tetapi juga dalam ansambel yang besar. Dimainkannya angklung secara bersama-sama, di mana setiap pemain memegang satu atau beberapa angklung dengan nada yang berbeda, menciptakan harmoni yang luar biasa. Fenomena inilah yang membuat angklung menjadi instrumen yang sangat demokratis dan mengajarkan nilai-nilai kerjasama serta kekompakan. Konsep "Satu Nada, Satu Suara" yang diusung dalam permainan angklung kolektif menggambarkan pentingnya kontribusi setiap individu demi terciptanya sebuah kesatuan yang indah.
Angklung telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Manusia pada tahun 2010. Pengakuan ini menegaskan betapa pentingnya angklung sebagai representasi kekayaan budaya Indonesia di mata dunia. Upaya pelestarian terus dilakukan melalui sekolah musik angklung, komunitas, festival, dan pengintegrasiannya dalam kurikulum pendidikan. Dengan memahami bahwa angklung terbuat dari bambu, kita turut mengapresiasi kekayaan alam yang dimanfaatkan secara lestari untuk menghasilkan sebuah karya seni yang mendunia.
Melestarikan angklung berarti juga melestarikan kearifan lokal dalam mengolah sumber daya alam. Bambu yang merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan ramah lingkungan, diubah menjadi alat musik yang menghasilkan keindahan suara. Ini adalah contoh sempurna bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan alam dan menghasilkan karya seni yang tak lekang oleh waktu. Angklung terus mengalun, membawa cerita tentang kebudayaan Indonesia yang kaya, kesederhanaan bambu, dan kehangatan kebersamaan, sebuah melodi yang takkan pernah pudar.