Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, terkadang kita melupakan jejak-jejak warisan budaya yang kaya dan unik. Salah satu warisan yang masih relevan hingga kini, terutama dalam konteks keagamaan dan tradisi di Indonesia, adalah angka pegon. Angka pegon bukan sekadar sistem penomoran biasa; ia memiliki akar sejarah yang dalam, makna filosofis, dan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, khususnya yang berinteraksi dengan literatur Arab dan Islam.
Angka pegon, yang juga sering disebut sebagai angka Arab atau angka pesantren, sebenarnya merujuk pada sistem penomoran yang berasal dari Timur Tengah. Sistem ini telah dikenal luas sejak zaman Kekhalifahan Abbasiyah dan menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Nusantara, melalui jalur perdagangan, dakwah, dan pendidikan. Di Indonesia, penyebaran angka pegon sangat erat kaitannya dengan perkembangan Islam melalui pesantren-pesantren.
Para santri dan ulama sejak lama menggunakan angka pegon dalam kitab-kitab mereka, baik yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu (yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia) dengan aksara Jawi atau Arab-Melayu. Penggunaan ini bukan hanya untuk menomori bab, ayat, atau halaman, tetapi juga sering kali terintegrasi dalam perhitungan, kalender, dan bahkan ramalan atau penanggalan tradisional yang memiliki nuansa mistis.
Seiring waktu, angka pegon telah menjadi bagian tak terpisahkan dari literatur keagamaan, naskah-naskah kuno, dan catatan-catatan pribadi para tokoh agama di Indonesia. Meskipun sistem angka Hindu-Arab modern (1, 2, 3, dst.) sudah sangat umum digunakan, angka pegon tetap dipertahankan dan dipelajari di banyak lingkungan pesantren dan komunitas yang mendalami tradisi keislaman.
Yang membuat angka pegon unik adalah bentuknya yang berbeda dari angka Hindu-Arab yang kita kenal sehari-hari. Perbedaan ini terutama terlihat pada angka-angka tertentu, yang jika diperhatikan akan memiliki kemiripan visual dengan beberapa huruf Arab. Sistem ini mencakup:
Perlu dicatat bahwa visualisasi angka pegon bisa sedikit bervariasi tergantung pada gaya penulisan tangan dan tradisi lokal. Namun, prinsip dasarnya adalah pengadopsian bentuk yang menyerupai huruf-huruf Arab. Kemiripan ini sering kali memudahkan para pembaca yang sudah familiar dengan aksara Arab untuk mengenali dan menggunakannya.
Penggunaan angka pegon tidak hanya sebatas fungsi teknis. Dalam beberapa konteks, angka pegon dikaitkan dengan makna-makna spiritual atau numerologis. Misalnya, dalam ilmu tasawuf atau tarekat tertentu, angka-angka dapat memiliki representasi simbolis yang mendalam, terkait dengan nama-nama Tuhan, tingkatan spiritual, atau konsep-konsep sufistik.
Lebih jauh lagi, angka pegon sering ditemukan dalam:
"Angka pegon adalah jendela ke masa lalu, sebuah pengingat akan cara nenek moyang kita memahami dan mencatat dunia melalui lensa budaya dan keagamaan mereka."
Meskipun popularitas angka pegon mungkin sedikit menurun seiring dengan dominasi sistem Hindu-Arab yang universal, ia tetap memegang peranan penting dalam lingkungan pendidikan agama Islam. Pesantren-pesantren masih mengajarkan dan menggunakan angka pegon, memastikan kelangsungan warisan ini.
Bagi generasi muda yang aktif di media sosial atau lingkungan digital, angka pegon mungkin terdengar asing. Namun, dengan sedikit eksplorasi, mereka dapat menemukan kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya. Memahami angka pegon bukan hanya soal mengenali simbol-simbol numerik, tetapi juga memahami bagaimana sejarah, budaya, dan agama saling terkait dalam membentuk cara manusia berkomunikasi dan mencatat pengetahuan.
Dalam praktiknya, mempelajari angka pegon bisa menjadi sebuah bentuk apresiasi terhadap akar intelektual dan budaya Islam di Nusantara. Ia membuka pemahaman yang lebih dalam terhadap naskah-naskah klasik dan tradisi keilmuan yang telah diwariskan turun-temurun. Angka pegon adalah bukti nyata bahwa bahkan sistem penomoran pun dapat memiliki kisah dan makna yang kaya, yang patut untuk dilestarikan dan dipelajari.