Kabar Terbaru Legislatif dan Etika Profesi

Anggota DPR RI Soroti Keputusan Pemecatan Dokter Terawan dari IDI

Simbol Protes dan Diskusi Legislatif Sebuah representasi visual tentang seorang figur berbicara di podium dengan latar belakang palu sidang dan tanda tanya.

Ilustrasi: Suara legislator dalam isu etika profesi.

Keputusan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mencabut keanggotaan Profesor Dr. dr. Terawan Agus Putranto Sp.Rad(K).DH., mantan Menteri Kesehatan, memicu gelombang reaksi dari berbagai kalangan. Salah satu suara paling vokal datang dari parlemen, khususnya dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Ribka Tjiptaning Projo, yang secara terbuka menyatakan keberatannya atas proses dan hasil pemecatan tersebut.

Ribka Tjiptaning, yang dikenal kerap vokal dalam isu-isu kesehatan dan kebijakan publik, menilai bahwa tindakan IDI perlu ditinjau kembali dari perspektif keadilan prosedural dan dampak luasnya terhadap dunia kedokteran di Indonesia. Menurut pandangan yang disampaikannya, pemecatan seorang dokter—apalagi yang memiliki rekam jejak dan posisi publik seperti Dokter Terawan—seharusnya melalui proses yang transparan, adil, dan berlandaskan pada bukti ilmiah yang kuat, bukan semata-mata pertimbangan organisasi internal.

“Kami melihat ada ketidaksesuaian antara sanksi berat yang dijatuhkan dengan landasan pelanggaran yang dituduhkan,” ujar Ribka dalam salah satu pernyataannya yang dikutip oleh media. Kritik utama yang dilontarkan adalah mengenai metodologi pengobatan yang kontroversial, yakni ‘Terapi Cuci Otak’, yang oleh sebagian kalangan dianggap belum sepenuhnya terbukti secara ilmiah saat diterapkan secara massal. Namun, bagi Ribka, sebagai pejabat publik dan anggota DPR, ia menuntut agar setiap sanksi profesi mempertimbangkan konteks inovasi dan upaya pelayanan kesehatan yang telah dilakukan oleh Dokter Terawan.

Dampak pada Kebijakan Kesehatan Nasional

Anggota DPR dari Komisi IX ini menekankan bahwa isu ini bukan hanya sekadar urusan internal antara Dokter Terawan dan organisasi profesinya. Keputusan ini memiliki implikasi signifikan terhadap iklim inovasi di sektor kesehatan Indonesia. Jika sanksi organisasi profesi terlalu cepat menjerat para praktisi yang mencoba terobosan baru, hal ini berpotensi menciptakan lingkungan yang menghambat penelitian dan pengembangan metode pengobatan alternatif di masa depan.

Ribka Tjiptaning menyoroti bahwa selama masa menjabatnya sebagai Menteri Kesehatan, Dokter Terawan telah berupaya keras untuk meningkatkan akses layanan kesehatan, terutama melalui program-program strategis yang menyentuh masyarakat luas. Oleh karena itu, pemecatan dari keanggotaan IDI—yang otomatis mengurangi hak profesi tertentu—dianggap sebagai pemukulan telak yang kurang mempertimbangkan kontribusi yang telah diberikan kepada negara. Ia mendesak agar IDI, sebagai lembaga profesi yang dihormati, dapat meninjau kembali keputusannya dengan melibatkan pandangan dari pembuat kebijakan dan pakar hukum tata negara.

Perdebatan mengenai status Dokter Terawan dalam IDI ini telah berlangsung cukup lama, namun eskalasi terjadi setelah sanksi tertinggi dijatuhkan. Bagi para pendukungnya, termasuk beberapa politisi, ini adalah bentuk kriminalisasi ilmiah. Mereka berargumen bahwa penelitian tersebut telah melalui tahap uji klinis meskipun mungkin belum memenuhi standar internasional yang sangat ketat. Mereka melihat protes Ribka Tjiptaning sebagai upaya menjaga keseimbangan antara tegaknya etika profesi dan apresiasi terhadap dokter yang berani mengambil risiko demi kemajuan medis.

Peran Legislatif dalam Pengawasan Etika Profesi

Kehadiran suara anggota DPR seperti Ribka Tjiptaning dalam isu ini menegaskan peran pengawasan yang dimiliki oleh lembaga legislatif terhadap lembaga-lembaga independen, termasuk organisasi profesi. Meskipun pengawasan etik adalah domain utama IDI, dampaknya menyentuh kebijakan publik yang berada di bawah lingkup pengawasan DPR. Ribka menegaskan perlunya adanya dialog terbuka mengenai batasan antara independensi organisasi profesi dan akuntabilitas publik yang harus dipenuhi oleh setiap dokter di Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa integritas profesi harus dijaga, namun proses penegakan integritas tersebut harus tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah dan pertimbangan yang objektif. Pemecatan yang berbau politis atau didasari oleh ketidakpuasan personal, terlepas dari kontroversi ilmiahnya, akan merusak kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran secara keseluruhan. Oleh karena itu, protes Anggota DPR Ribka Tjiptaning ini menjadi sorotan penting dalam dinamika hubungan antara politik, ilmu pengetahuan, dan etika profesi di Indonesia.

Situasi ini diperkirakan akan terus menjadi perbincangan hangat di lingkungan parlemen, dengan harapan adanya mediasi atau setidaknya klarifikasi lebih lanjut dari pihak IDI mengenai dasar hukum dan regulasi internal yang memicu keputusan drastis tersebut terhadap salah satu dokter paling dikenal di negeri ini.

🏠 Homepage