Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah momen bersejarah yang penuh makna dan keseriusan. Semangat persatuan di antara perwakilan pemuda dari berbagai daerah sungguh menggetarkan. Namun, di balik pidato-pidato gagah dan resolusi yang tegas, tentu ada momen-momen manusiawi yang mungkin luput dari buku sejarah—momen ringan yang bisa kita bayangkan sebagai anekdot pengisi jeda rapat akbar tersebut.
Bayangkan suasana rapat di Batavia kala itu. Udara panas, ruangan pengap, dan ide-ide besar tentang "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa" harus dirumuskan. Salah satu delegasi muda dari Jawa Tengah, sebut saja namanya Amir, dikenal sangat antusias tapi agak pelupa.
Suatu pagi, Amir datang terlambat karena salah menghitung jadwal kereta. Ia langsung duduk di barisan depan, wajahnya pucat karena kurang tidur. Salah satu panitia mendekatinya dengan secangkir kopi kental, hitam, dan tanpa gula, khas hidangan saat rapat penting.
"Amir, ini kopi untuk penyemangat. Jangan sampai semangatmu kendor sebelum resolusi itu terucap!" ujar sang panitia sambil menepuk bahu.
Amir meneguk kopi itu sekaligus. Matanya langsung melebar, napasnya tertahan. Rupanya, kopi itu jauh lebih pahit dari pahitnya penjajahan yang ia rasakan hari itu. Ia terbatuk-batuk hebat. Delegasi lain terkejut.
Ketika keadaannya sedikit membaik, Amir berbisik pada teman sebelahnya, "Tadi aku bersumpah dalam hati, 'Demi harga diri bangsa ini, aku harus kuat menghadapi rasa pahit ini!' Ternyata, rasa pahit kopi ini lebih nyata daripada retorika pembebasan yang kita bicarakan!"
Seluruh ruangan tergelak kecil. Momen ketegangan sejenak sirna, mengingatkan semua bahwa semangat juang sejati sering kali datang dari kesederhanaan dan kemampuan mengatasi kesulitan kecil sebelum menghadapi kesulitan besar.
Salah satu poin krusial Sumpah Pemuda adalah penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Proses ini tentu tidak mulus. Ada perdebatan sengit, namun semuanya diwarnai rasa hormat dan keinginan bersama.
Dalam sesi diskusi mengenai pemilihan bahasa baku, seorang pemuda dari wilayah timur Indonesia mengajukan keberatan dengan logat daerahnya yang kental. Ia merasa bahasa dari daerahnya lebih 'berbunga' dan 'kuat' untuk menyatukan identitas.
“Tuan-tuan, mengapa kita harus memilih bahasa yang terdengar biasa? Bahasa kami memiliki irama alam, lebih cocok untuk menyanyikan lagu kebangsaan kita nanti!” serunya dengan penuh semangat.
Delegasi lain, yang terkenal cerdas dan diplomatis, menanggapi dengan senyum tipis. "Benar sekali, saudara. Bahasa daerah Anda memang indah, seperti lukisan cat air. Namun, kita tidak sedang membuat lukisan untuk dipajang di galeri pribadi. Kita sedang membangun jembatan yang harus bisa dilalui oleh semua orang, mulai dari pedagang di pasar hingga para cendekiawan. Bahasa persatuan haruslah bahasa yang paling luas jangkauannya, yang paling mudah diadopsi tanpa perlu menghapus keindahan bahasa daerah Anda."
"Anggap saja, bahasa Indonesia ini adalah wadah yang kuat dan besar. Keindahan bahasa daerah kita, itu adalah isinya yang berharga. Wadah harus kokoh agar isinya tidak tumpah."
Komentar analogi 'wadah dan isi' ini diterima dengan anggukan setuju. Diskusi berjalan lancar setelah itu, menunjukkan bahwa persuasi terbaik tidak selalu berupa bantahan keras, tetapi terkadang berupa perumpamaan sederhana yang menusuk tepat sasaran.
Malam sebelum ikrar resmi dibacakan, banyak delegasi yang berkumpul di penginapan untuk merapikan teks dan menyusun strategi akhir. Suasana penuh harap dan sedikit kecemasan menyelimuti ruangan.
Seorang pemuda bernama Rahmat, yang sangat gugup karena pidatonya akan dibacakan besok, terus mengulang-ulang kalimat sakral, "Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia..."
Ia mengulanginya hingga puluhan kali, sampai salah satu rekannya yang kelelahan menyahut: "Rahmat, sudah, besok saja latihannya. Kamu terlalu bersemangat sampai lupa makan malam."
Rahmat menjawab dengan nada serius namun mata setengah terpejam, "Aku harus hafal benar, kawan. Besok kita mempertaruhkan masa depan. Aku bersumpah, besok malam, Indonesia akan punya bahasa yang sama untuk mengumpat dan untuk memuji!"
Semua orang tertawa. Meskipun diucapkan dalam keadaan setengah sadar dan sedikit bercanda, "mengumpat dan memuji" itu menangkap esensi pentingnya bahasa persatuan: ia harus digunakan dalam setiap aspek kehidupan, baik saat senang maupun saat susah. Semangat tulus dan terkadang jenaka itulah yang menjadi bahan bakar lahirnya salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia.