Dalam lautan ayat-ayat Al-Qur'an, terdapat mutiara-mutiara hikmah yang terus menerus memberikan panduan bagi umat manusia. Salah satu ayat yang memiliki makna mendalam dan relevansi abadi adalah Surat An-Nisa ayat 96. Ayat ini tidak hanya memberikan penjelasan mengenai kedudukan seseorang di hadapan Allah, tetapi juga menggarisbawahi sebuah prinsip penting terkait tanggung jawab dan nilai perjuangan. Memahami An Nisa ayat 96 secara komprehensif akan membuka wawasan mengenai bagaimana seorang mukmin seharusnya memposisikan diri dalam menghadapi berbagai aspek kehidupan, baik spiritual maupun sosial.
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
Orang-orang yang duduk (tidak ikut perang) dari kalangan orang mukmin, selain dari mereka yang mendapat kesukaran (cacat), tidak sama dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan jiwa raga mereka. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta benda dan jiwa raga mereka atas orang-orang yang duduk (tidak ikut perang) dengan satu derajat. Kepada masing-masing Allah menjanjikan pahala yang baik (surga). Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.
Surat An-Nisa ayat 96 diturunkan dalam konteks perjuangan umat Islam di awal masa kenabian. Pada masa itu, kaum Muslimin menghadapi berbagai tantangan, baik dari internal maupun eksternal. Adanya sebagian sahabat yang terhalang untuk ikut berperang karena udzur syar'i (seperti sakit atau cacat) memunculkan pertanyaan mengenai kedudukan mereka dibandingkan dengan mereka yang mampu berjihad. Ayat ini hadir untuk memberikan jawaban yang jelas dan adil dari Allah SWT.
Inti dari ayat ini adalah penegasan bahwa tidak sama kedudukan antara mukmin yang mampu berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa raga mereka, dengan mereka yang duduk (tidak ikut berperang) tanpa ada udzur. Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa para mujahidin (orang yang berjihad) memiliki keutamaan dan derajat yang lebih tinggi. Namun, penting untuk dicatat, ayat ini juga tidak menafikan keutamaan bagi mereka yang duduk, asalkan mereka memiliki udzur yang dibenarkan oleh syariat. Allah menjanjikan "kebaikan" (al-husna) bagi kedua golongan tersebut, yang menunjukkan bahwa setiap amal shaleh yang dilakukan dengan niat ikhlas akan mendapatkan balasan dari-Nya.
Istilah "jihad" dalam Al-Qur'an memiliki cakupan makna yang luas. Dalam konteks An Nisa ayat 96, jihad secara gamblang merujuk pada perjuangan di jalan Allah dengan mengerahkan harta benda dan jiwa raga. Ini bisa berarti ikut serta dalam peperangan membela agama dan negara, namun lebih dari itu, jihad juga mencakup upaya sungguh-sungguh dalam menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Jihad dengan harta berarti menginfakkan sebagian dari rezeki yang Allah berikan untuk kemaslahatan umat, perjuangan dakwah, membantu yang lemah, atau mendanai kegiatan yang membawa kebaikan. Sementara jihad dengan jiwa raga mencakup pengerahan fisik, tenaga, bahkan nyawa dalam membela kebenaran, menegakkan keadilan, dan melawan kezaliman. Keduanya adalah bentuk pengorbanan tertinggi yang bernilai di sisi Allah.
Ayat ini menyoroti bahwa pengorbanan dalam bentuk jihad ini memiliki kedudukan yang istimewa di hadapan Allah. Hal ini bukan berarti meremehkan mereka yang tidak bisa berjihad, tetapi lebih kepada penekanan akan tingginya nilai kesungguhan dan pengorbanan dalam memperjuangkan agama Allah ketika ada kesempatan dan kemampuan.
Meskipun ayat ini membedakan derajat antara mujahidin dan orang yang duduk, penting untuk digarisbawahi bahwa Allah melihat dari hati dan niat. Bagi mereka yang duduk karena udzur syar'i yang sah, seperti sakit, tua renta, cacat fisik, atau keterbatasan lain yang diakui syariat, maka mereka tidaklah sama dosanya dengan orang yang meninggalkan kewajiban berjihad karena malas atau enggan. Justru, banyak hadits yang menjelaskan bahwa niat baik untuk berjihad jika terhalang oleh udzur, tetap dicatat sebagai amal jihad.
Selain itu, ayat ini juga mengingatkan bahwa keutamaan derajat tidak hanya berlaku pada saat di dunia, tetapi juga pada balasan di akhirat kelak. Janji "pahala yang besar" bagi para mujahidin menunjukkan betapa mulianya pengorbanan tersebut di sisi Tuhan semesta alam. Ini adalah motivasi agar umat Islam senantiasa bersemangat dalam berjuang di jalan-Nya, sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Di era modern ini, An Nisa ayat 96 tetap relevan. Konsep "jihad" tidak melulu dimaknai sebagai perang fisik semata. Jihad di masa kini bisa berarti perjuangan intelektual untuk membantah syubhat (keraguan), perjuangan ekonomi untuk mengangkat derajat ummat, perjuangan sosial untuk membangun masyarakat yang adil, atau bahkan perjuangan melawan hawa nafsu diri sendiri (jihad akbar).
Ayat ini mengajarkan kita untuk senantiasa berupaya memberikan kontribusi terbaik bagi agama dan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Bagi yang mampu berkorban harta dan tenaga, hendaknya ia tidak menyia-nyiakannya. Bagi yang memiliki kelemahan fisik atau keterbatasan lain, hendaknya ia tetap menjaga niat dan mencari cara lain untuk berkontribusi, serta tidak berputus asa dari rahmat Allah. Penting untuk terus belajar, berdakwah dengan ilmu, dan berjuang di bidang masing-masing demi kejayaan Islam dan kemaslahatan umat manusia, karena Allah Maha Melihat atas segala usaha hamba-Nya.