Dalam Al-Qur'an, setiap ayat memuat hikmah dan pelajaran berharga yang senantiasa relevan bagi kehidupan manusia. Salah satu ayat yang seringkali menjadi bahan perenungan adalah Surah An-Nisa ayat 63. Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya sikap dan perlakuan yang benar terhadap sesama, terutama dalam konteks interaksi sosial dan hubungan antarindividu. Memahami makna mendalam dari An Nisa ayat 63 dapat memberikan panduan berharga dalam menjalani kehidupan sehari-hari, membangun masyarakat yang harmonis, dan memperkuat kualitas spiritual kita.
Surah An-Nisa sendiri merupakan surah Madaniyah yang banyak membahas hukum-hukum terkait keluarga, perempuan, dan masyarakat. Ayat 63 ini turun sebagai respons terhadap situasi sosial yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, namun relevansinya melampaui zaman. Ayat ini menekankan bagaimana perkataan dan tindakan kita dapat memengaruhi hati dan pikiran orang lain. Ia mengajarkan tentang perlunya menjaga lisan, berlaku bijak, dan menggunakan pengaruh yang kita miliki untuk kebaikan.
وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡإِيمَـٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِي قُلُوبِكُمۡ وَكَرَّهَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكُفۡرَ وَٱلۡفُسُوقَ وَٱلۡعِصۡيَانَۚ أُوْلَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلرَّ ٰشِدُونَ
"Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menghiasinya di dalam hatimu serta meng menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Orang-orang yang demikian itulah yang menjadi petunjuk."
Makna dari An Nisa ayat 63 ini sangatlah luas. Pertama, ayat ini menjelaskan tentang kecenderungan hati manusia yang telah ditanamkan oleh Allah SWT. Allah telah menumbuhkan rasa cinta kepada iman di dalam hati orang-orang beriman. Ini bukan sekadar rasa suka, melainkan sebuah penanaman nilai-nilai yang mendalam, sebuah fitrah yang membuat jiwa merasa tenang dan damai ketika berpegang teguh pada keimanan. Keimanan ini bukan hanya pengakuan lisan, tetapi juga keyakinan hati yang termanifestasi dalam perkataan dan perbuatan.
Lebih lanjut, ayat ini juga menyatakan bahwa Allah SWT memperindah keimanan di dalam hati. Keindahan ini dapat dirasakan melalui ketenangan batin, kebahagiaan hakiki, dan rasa aman dari ancaman siksa Allah. Ketika hati telah dihiasi keimanan, ia akan cenderung untuk menolak segala sesuatu yang bertentangan dengannya.
Sebaliknya, Allah juga menanamkan rasa benci terhadap kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Kekafiran adalah penolakan terhadap kebenaran Allah. Kefasikan adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, seringkali dikaitkan dengan dosa-dosa besar. Kemaksiatan adalah segala bentuk pelanggaran perintah Allah. Dengan adanya rasa benci ini, seorang mukmin akan dijaga dari terjerumus ke dalam jurang kesesatan. Ini adalah bentuk perlindungan ilahi yang memandu manusia menuju jalan yang benar.
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang memiliki kecenderungan hati seperti ini, yaitu mencintai iman dan membenci kekafiran serta segala bentuk pelanggaran, merekalah yang dikategorikan sebagai orang-orang yang mendapat petunjuk atau ar-rasyidun. Kata "rasyid" berarti orang yang lurus, teguh pendirian dalam kebenaran, dan tidak mudah tersesat. Mereka adalah orang-orang yang mampu membedakan antara yang hak dan batil, antara yang baik dan buruk, dan memilih jalan yang diridai Allah.
Dalam konteks sosial, An Nisa ayat 63 mengajarkan kita untuk selalu memelihara hubungan baik dengan sesama. Keimanan yang tertanam di hati seharusnya mendorong kita untuk bersikap jujur, adil, dan penuh kasih sayang. Ketika kita mencintai iman, kita akan berusaha untuk tidak menyakiti orang lain, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Kita akan menghindari fitnah, ghibah, ujaran kebencian, dan segala bentuk perkataan yang dapat menimbulkan permusuhan.
Selain itu, ayat ini juga mengingatkan kita untuk menjauhi kefasikan dan kemaksiatan. Ini berarti kita harus berusaha untuk taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam kehidupan bermasyarakat, ini tercermin dalam kepatuhan terhadap hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, dan berkontribusi positif bagi lingkungan sekitar. Menjadi pribadi yang rasyid berarti menjadi agen kebaikan yang membawa pengaruh positif bagi orang lain.
Refleksi dari An Nisa ayat 63 ini mendorong kita untuk senantiasa mengevaluasi diri. Apakah hati kita benar-benar telah mencintai keimanan? Apakah kita merasa jijik terhadap segala bentuk kemaksiatan? Atau justru sebaliknya, kita merasa lebih tertarik pada hal-hal yang dilarang Allah? Kesadaran akan hal ini adalah langkah awal untuk perbaikan diri. Kita perlu terus berdoa kepada Allah agar ditetapkan hati kita dalam keimanan, dihiasi keindahan iman, dan dijauhkan dari kesesatan.
Memaknai An Nisa ayat 63 bukan hanya sebatas memahami terjemahannya, tetapi juga mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Dalam interaksi sehari-hari, cobalah untuk selalu berbicara dengan perkataan yang baik dan membangun. Dalam mengambil keputusan, selalu pertimbangkan apakah itu sejalan dengan ajaran agama dan nilai-nilai moral. Dengan demikian, kita dapat menjadi bagian dari orang-orang yang mendapat petunjuk Allah, yang hidupnya senantiasa membawa keberkahan dan kebaikan bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Ayat ini adalah pengingat abadi tentang bagaimana keimanan yang murni dan tindakan yang bijaksana adalah kunci menuju kehidupan yang lurus dan diridai.