Surah An-Nisa Ayat 1-4: Fondasi Kehidupan Berkeluarga dan Bertanggung Jawab
Ilustrasi keluarga sebagai inti masyarakat yang dilandasi tanggung jawab
Surah An-Nisa', yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah Madaniyah yang memiliki peran fundamental dalam mengatur berbagai aspek kehidupan sosial, hukum, dan moral umat Islam. Ayat 1 hingga 4 dari surah ini secara khusus membentangkan prinsip-prinsip penting mengenai penciptaan manusia, pentingnya menjaga hubungan silaturahmi, serta tanggung jawab terhadap kaum kerabat, terutama anak yatim. Ayat-ayat ini menjadi landasan bagi pembentukan masyarakat yang adil, harmonis, dan penuh kasih sayang.
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (Adam), lalu Dia menciptakan pasangannya (Hawa) dari (satu) diri itu, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi(mu).
Ayat pertama Surah An-Nisa' langsung menegaskan sebuah realitas fundamental tentang asal-usul penciptaan manusia. Allah SWT mengingatkan seluruh umat manusia bahwa mereka berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Nabi Adam AS, dan kemudian diciptakan pasangannya, Hawa. Dari pasangan pertama inilah kemudian tersebarlah manusia dalam jumlah yang sangat banyak, baik laki-laki maupun perempuan. Penegasan ini memiliki makna yang sangat mendalam:
Persatuan dan Kesetaraan: Semua manusia memiliki akar yang sama. Ini mengajarkan bahwa tidak ada superioritas rasial, etnis, atau gender. Semua diciptakan oleh Tuhan yang sama, sehingga memiliki martabat yang setara. Perbedaan yang ada justru merupakan bagian dari kehendak ilahi untuk memperkaya dan memperlancar kehidupan di muka bumi.
Tanggung Jawab Ketaqwaan: Seruan untuk bertakwa kepada Allah SWT adalah inti dari ajaran agama. Ketaqwaan ini harus melahirkan kesadaran akan kebesaran Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta.
Pentingnya Silaturahmi: Ayat ini secara eksplisit memerintahkan untuk memelihara hubungan silaturahmi (al-arham). Kata 'arham' secara harfiah merujuk pada rahim, tempat janin berkembang, yang melambangkan hubungan kekerabatan. Memelihara hubungan baik dengan kerabat adalah kewajiban yang ditekankan, karena ini adalah pilar penting dalam membangun harmoni sosial.
Pengawasan Ilahi: Frasa "Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi(mu)" menjadi pengingat bahwa setiap tindakan, niat, dan hubungan kita selalu dalam pantauan Allah SWT. Ini mendorong manusia untuk selalu berperilaku baik dan menjaga amanah.
Dan berikanlah kepada (ahli) waris anak yatim itu harta mereka, janganlah kamu menukar barang yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan itu adalah dosa yang besar.
Melanjutkan tema tanggung jawab, ayat kedua Surah An-Nisa' secara spesifik menyoroti kewajiban terhadap harta benda anak yatim. Anak yatim adalah mereka yang kehilangan ayah sebelum mencapai usia baligh. Dalam tradisi Arab pra-Islam, anak yatim sering kali menjadi korban penyelewengan harta. Allah SWT melalui ayat ini memberikan aturan yang tegas:
Penyerahan Harta: Ketika anak yatim telah mencapai usia dewasa dan mampu mengelola hartanya, maka hartanya harus diserahkan sepenuhnya tanpa terkecuali.
Larangan Penukaran yang Merugikan: Jangan menukar harta yang baik milik anak yatim dengan harta yang buruk milik orang lain, atau sebaliknya. Ini menekankan pentingnya kejujuran dan kehati-hatian dalam setiap transaksi yang melibatkan harta anak yatim.
Larangan Menggabungkan Harta: Dilarang keras mencampuradukkan harta anak yatim dengan harta orang yang mengelolanya, apalagi sampai memakannya. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang sangat dibenci Allah.
Besarnya Dosa: Mengambil atau menyalahgunakan harta anak yatim dianggap sebagai dosa besar. Ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan anak yatim di sisi Allah dan betapa seriusnya larangan untuk merugikan mereka.
Ayat ini mengajarkan nilai keadilan, amanah, dan perlindungan terhadap kelompok yang rentan dalam masyarakat.
Ayat 3: Aturan Pernikahan dan Keadilan dalam Poligami
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau (perbudak) perempuan yang kamu miliki. Itulah yang paling mendekati agar kamu tidak berbuat zalim.
Ayat ketiga membuka bab mengenai aturan pernikahan, yang merupakan inti dari pembentukan keluarga. Ayat ini memberikan solusi dan panduan terkait poligami, namun dengan syarat yang sangat ketat:
Prasyarat Keadilan: Izin untuk berpoligami (hingga empat istri) diberikan dengan syarat utama yaitu kemampuan untuk berlaku adil. Keadilan di sini mencakup keadilan dalam nafkah, giliran menginap, perlakuan, dan segala aspek lainnya yang dapat mempengaruhi hak istri.
Solusi Jika Khawatir Tidak Adil: Jika timbul kekhawatiran besar akan ketidakmampuan untuk berlaku adil dalam berpoligami, maka jalan terbaik adalah membatasi diri pada satu istri saja. Ini adalah penegasan bahwa keadilan adalah kunci, dan jika keadilan tidak bisa dipenuhi, maka monogami adalah pilihan yang lebih aman untuk menghindari kezaliman.
Pentingnya Menghindari Kezaliman: Tujuan dari aturan ini adalah agar manusia tidak melakukan kezaliman ('aul) dalam urusan rumah tangga, yang dapat merusak keharmonisan keluarga dan menyebabkan penderitaan bagi pihak-pihak yang dirugikan.
Ayat ini membuktikan bahwa Islam tidak mendorong poligami secara membabi buta, melainkan meletakkannya di bawah bingkai keadilan yang sangat ketat.
Ayat 4: Keadilan dalam Pemberian Mahar dan Hak Istri
Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan sebagai tanda ketulusan (dari Allah). Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah (pengembaliannya) itu dengan rasa lega.
Menyambung pembahasan tentang hak-hak perempuan dalam pernikahan, ayat keempat Surah An-Nisa' menegaskan pentingnya pemberian mahar. Mahar adalah pemberian wajib dari pihak laki-laki kepada calon istri sebagai simbol penghargaan dan ketulusan pernikahan.
Mahar sebagai Pemberian Wajib: Allah memerintahkan agar mahar diberikan kepada perempuan. Kata 'nihlah' yang digunakan berarti pemberian yang tulus, sebagai anugerah dari Allah. Mahar bukan upeti atau bayaran, melainkan hak perempuan yang harus dipenuhi.
Boleh Menerima Hibah dari Mahar: Jika setelah pernikahan, sang istri dengan kerelaan hatinya sendiri memberikan sebagian maharnya kembali kepada suami, maka suami diperbolehkan menerimanya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian mahar adalah hak istri, dan dia berhak untuk mendonasikannya kembali jika mau.
Ayat ini menegaskan kembali penghargaan Islam terhadap perempuan dalam ikatan pernikahan, memastikan hak-hak mereka terlindungi dan dihormati.
Kesimpulan
Empat ayat pertama Surah An-Nisa' memberikan fondasi moral dan hukum yang kuat bagi masyarakat Muslim. Mulai dari pengakuan atas kesatuan asal-usul manusia, tanggung jawab terhadap harta anak yatim, aturan adil dalam pernikahan, hingga penegasan hak-hak perempuan, semua saling terkait dalam membangun sebuah tatanan sosial yang berkeadilan, harmonis, dan penuh kasih sayang. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai dalam ayat-ayat ini adalah langkah krusial bagi setiap Muslim untuk mewujudkan kehidupan yang diridai oleh Allah SWT.