Dalam lautan ayat-ayat suci Al-Qur'an, terdapat permata-permata makna yang terus memancarkan cahaya bagi umat manusia. Salah satu di antaranya adalah rangkaian firman Allah SWT yang dikenal sebagai An Nisa 88. Ayat ini seringkali menarik perhatian karena pembahasannya yang mendalam mengenai kondisi umat dan bagaimana seharusnya sikap mereka dalam menghadapi berbagai situasi, terutama yang berkaitan dengan perbedaan dan potensi konflik.
Surah An-Nisa' sendiri adalah surah keempat dalam mushaf Al-Qur'an, yang berarti "Wanita". Penamaan ini mencerminkan banyaknya pembahasan surah ini mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan, keluarga, dan masyarakat. Namun, seperti lazimnya Al-Qur'an, setiap ayat di dalamnya memiliki cakupan makna yang luas dan relevan bagi seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. An Nisa 88 secara spesifik hadir sebagai pedoman krusial dalam konteks kehidupan sosial dan spiritual.
Untuk memahami An Nisa 88 secara utuh, penting untuk menempatkannya dalam konteks ayat-ayat sebelumnya. Ayat ini seringkali dibahas bersamaan dengan ayat 87 dan 89 dari surah yang sama. Pembicaraan dimulai dengan pertanyaan tentang bagaimana seseorang seharusnya bersikap ketika dihadapkan pada ancaman atau ketidakpastian. Allah SWT berfirman, "Maka mengapa kamu menjadi dua golongan dalam (masalah) orang munafik, padahal Allah telah mengembalikan mereka kepada (ajaran) yang benar karena apa yang telah mereka peroleh? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang yang telah dibiarkan sesat oleh Allah? Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, niscaya kamu tidak akan menemukan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya." (An Nisa: 86).
Selanjutnya, An Nisa 87 membahas tentang orang yang mengambil jalan yang lemah dalam beragama, dan bagaimana sikap mereka yang seringkali terjebak dalam keraguan. Kemudian, An Nisa 88 menyajikan sebuah titik kritis. Ayat ini secara ringkas dapat diartikan sebagai sebuah pernyataan yang mengungkapkan kebingungan dan keprihatinan Allah SWT terhadap orang-orang yang memiliki dua sikap berbeda: satu sisi mengaku beriman, namun di sisi lain mereka justru bersimpati atau bahkan membela orang-orang yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi kaum Muslimin. Ini adalah ujian keimanan yang sesungguhnya.
An Nisa 88 tidak hanya sekadar narasi sejarah, tetapi lebih dari itu, ia adalah peringatan abadi. Ayat ini menggarisbawahi betapa pentingnya konsistensi dalam keimanan. Tidak bisa seseorang mengklaim beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, namun di saat yang sama hatinya condong kepada musuh-musuh Islam. Perpecahan sikap ini adalah cerminan dari kelemahan iman, kebingungan identitas, atau bahkan adanya penyakit dalam hati (munafik).
Allah SWT menegaskan dalam ayat ini, "Mengapa kamu menjadi golongan yang berbeda dalam (perselisihan mengenai) orang-orang munafik, padahal Allah telah mengembalikan mereka kepada (ajaran) yang benar karena apa yang mereka peroleh? ... Maka mengapa kamu (berada) dalam dua golongan pada (urusan) orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada apa yang mereka kerjakan? Apakah kamu bermaksud akan memberi petunjuk kepada orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa disesatkan Allah, sekali-kali tidak akan kamu dapati baginya jalan (untuk mendapat petunjuk)."
Inti dari ayat ini adalah penegasan tentang kesetiaan. Keimanan yang sejati menuntut kesetiaan total kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin. Ketika ada pihak yang terang-terangan memusuhi agama dan para pemeluknya, maka sikap seorang mukmin yang benar adalah berada di pihak yang benar, bukan terombang-ambing antara dua kubu. Ayat ini mendorong kita untuk berani bersikap, meneguhkan pendirian, dan tidak terpengaruh oleh kemunafikan atau tipu daya musuh.
Di era digital seperti sekarang, di mana informasi tersebar begitu cepat dan dunia terasa semakin kecil, An Nisa 88 memiliki relevansi yang sangat tinggi. Kita seringkali dihadapkan pada berbagai narasi, propaganda, dan upaya untuk memecah belah umat. Dalam situasi seperti ini, ayat ini menjadi pengingat penting agar kita tidak terpecah belah menjadi golongan-golongan yang saling bertentangan hanya karena perbedaan pandangan atau pengaruh luar yang menyesatkan.
An Nisa 88 mengajarkan kita untuk selalu berpegang teguh pada prinsip kebenaran. Ia mengingatkan agar kita tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai isu atau tekanan sosial. Umat Islam dituntut untuk bersatu padu dalam menghadapi segala bentuk permusuhan terhadap agama. Sikap ragu-ragu, abu-abu, atau bersembunyi di balik dua pilihan seringkali hanya akan melemahkan diri sendiri dan memberikan celah bagi musuh untuk menguasai.
Lebih jauh lagi, ayat ini mendorong kita untuk introspeksi diri. Apakah hati kita benar-benar tulus beriman? Apakah kesetiaan kita kepada agama sudah total? Atau masih ada keraguan yang menggerogoti, atau ada kecenderungan untuk berkompromi dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Allah?
Pada akhirnya, An Nisa 88 adalah sebuah ajakan untuk meneguhkan keimanan, memperkuat persatuan, dan menjaga kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia adalah pengingat bahwa dalam setiap ujian, terutama yang berkaitan dengan identitas dan loyalitas, seorang mukmin harus mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana kawan dan mana lawan bagi kebenaran. Dengan memahami dan mengamalkan makna ayat ini, diharapkan umat Islam dapat senantiasa berada di jalan yang lurus, kokoh dalam pendirian, dan bersatu padu membangun peradaban yang diridhai Allah SWT.