Ilustrasi simbolis yang terinspirasi dari An Nisa.
Surah An Nisa merupakan salah satu surah Madaniyyah terpanjang dalam Al-Qur'an, yang berarti ia diturunkan di Madinah. Penurunan surah ini terjadi pada periode yang krusial dalam sejarah Islam, di mana komunitas Muslim mulai membangun struktur sosial, hukum, dan pemerintahan yang kokoh di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Konteks Madinah yang ditandai dengan semakin berkembangnya umat Islam, bertambahnya jumlah kaum mukmin, serta hadirnya berbagai tantangan internal dan eksternal, menjadikan surah An Nisa sangat relevan dan penuh dengan ajaran yang mendasar.
Ayat-ayat dalam surah An Nisa, termasuk ayat 22 dan 23, seringkali menjadi sumber hukum dan pedoman etika yang mendalam. Ayat-ayat ini membahas berbagai aspek kehidupan, mulai dari pernikahan, keluarga, hak-hak wanita dan anak yatim, hingga warisan, muamalah (hubungan antar sesama), dan tata cara penyelesaian konflik. Pengkajian terhadap surah ini, terutama ayat-ayat yang spesifik seperti An Nisa 22 dan 23, bukan sekadar membaca teks, melainkan sebuah upaya untuk memahami bagaimana Islam mengatur kehidupan secara holistik dan adil.
Ayat 22 dari Surah An Nisa adalah sebuah ketentuan hukum yang tegas mengenai larangan menikahi wanita yang pernah dinikahi oleh ayah seorang pria. Ayat ini berbunyi:
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah ayangmu kawini kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya perbuatan itu adalah suatu kekejian dan dibenci Allah dan amat buruklah (perbuatan) itu sebagai suatu jalan." (QS. An Nisa: 22)
Makna literal dari ayat ini sangat jelas: seorang anak laki-laki dilarang untuk menikahi ibunya tiri atau wanita lain yang pernah menjadi istri ayahnya. Ketentuan ini sangat penting untuk menjaga kemurnian nasab (garis keturunan) dan mencegah kerancuan dalam struktur keluarga. Dalam konteks sosial di masa lalu, praktik seperti ini mungkin saja terjadi sebagai bagian dari tradisi atau untuk tujuan tertentu, namun Islam datang untuk menegakkan tatanan yang lebih mulia dan menjaga kehormatan keluarga.
Poin penting yang ditekankan oleh ayat ini adalah bagaimana Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesucian dan kehormatan dalam ikatan keluarga. Larangan ini juga mencakup larangan menikahi wanita-wanita yang haram dinikahi karena hubungan darah (mahram) atau karena persusuan, yang akan dijelaskan lebih rinci di ayat-ayat berikutnya. Ayat ini menjadi fondasi penting dalam pengaturan pernikahan dalam Islam, memastikan bahwa hubungan kekerabatan dijaga dan dihormati.
Melanjutkan dari ayat sebelumnya yang memberikan larangan spesifik, ayat 23 dari Surah An Nisa memberikan penjelasan yang lebih luas mengenai siapa saja wanita yang diharamkan untuk dinikahi oleh seorang pria. Ayat ini merupakan penjelasan rinci mengenai kategori mahram:
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anak perempuanmu; saudara-saudara perempuanmu; saudara-saudara perempuan ayahmu; saudara-saudara perempuan ibumu; anak-anak perempuan saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan saudaramu yang perempuan; ibu-ibu mu yang menyusui kamu; saudara-saudara perempuanmu sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu (dari isteri yang sudah kamu campuri) tetapi jika kamu belum mencampuri istrimu itu (dan sudah) kawin (dengan yang lain), maka tidak berdosa bagimu (mengawininya); dan (diharamkan) anak-anak kandungmu (menantu perempuan dari anak laki-lakimu); dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An Nisa: 23)
Ayat ini secara sistematis memaparkan berbagai kategori wanita yang haram dinikahi. Kategori-kategori tersebut meliputi:
Penjelasan rinci ini menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan keharmonisan dan kesucian institusi pernikahan serta keluarga. Tujuannya adalah untuk menciptakan tatanan sosial yang teratur, menghindari potensi perselisihan antar anggota keluarga, dan memastikan keturunan yang jelas.
Meskipun diturunkan berabad-abad lalu, ayat 22 dan 23 dari Surah An Nisa tetap relevan dan memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan Muslim di era modern. Ajaran mengenai larangan pernikahan ini bukan hanya sekadar aturan ritual, tetapi mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, kehormatan, dan pemeliharaan struktur keluarga yang kokoh.
Dalam masyarakat yang terus berubah, pemahaman yang benar tentang batasan-batasan pernikahan dalam Islam sangat penting. Ayat-ayat ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga marwah keluarga, menghormati hubungan kerabat, dan membangun rumah tangga di atas landasan yang suci dan diridhai Allah. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran ini, umat Islam dapat terus membentuk keluarga yang harmonis, stabil, dan menjadi pondasi yang kuat bagi masyarakat yang lebih baik.