"Dan janganlah kamu menjadi seperti seorang wanita yang menguraikan benangnya, yang telah dipintal dengan kokoh, menjadi cerai-berai, sedang dia menjadikan sumpah-sumpahnya sebagai alat penipu di antara sesama kamu, karena (hanya karena) ada satu golongan yang lebih banyak jumlahnya daripada golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan Dia pasti akan menjelaskan kepadamu pada hari Kiamat tentang apa yang dahulu kamu perselisihkan."
(QS. An-Nahl: 92)
Surat An-Nahl (Lebah) ayat 92 adalah pengingat kuat dari Allah SWT mengenai pentingnya menjaga integritas, konsistensi dalam janji, dan ketulusan dalam setiap tindakan, terutama ketika dihadapkan pada perbedaan jumlah atau kekuatan. Ayat ini menggunakan perumpamaan yang sangat jelas dan mudah dipahami: seorang wanita yang memintal benang dengan kuat, kemudian dengan mudah menguraikannya kembali menjadi serabut-serabut yang tidak berguna.
Perumpamaan ini menggambarkan tindakan yang sia-sia dan merusak. Dalam konteks sosial dan spiritual, ini merujuk kepada orang-orang yang telah membangun sebuah komitmen, perjanjian, atau bahkan keyakinan yang kokoh (benang yang dipintal kuat), namun kemudian dengan sengaja merusaknya (menguraikannya) demi kepentingan sesaat atau karena godaan duniawi.
Bagian kedua dari ayat ini menyoroti aspek sumpah. "Sedang dia menjadikan sumpah-sumpahnya sebagai alat penipu di antara sesama kamu." Ini menunjukkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya sekadar kegagalan dalam pekerjaan, tetapi juga pelanggaran janji suci atau sumpah yang diucapkan. Menggunakan sumpah—sebuah ikatan yang seharusnya sakral—sebagai tameng atau alat untuk menipu orang lain adalah dosa besar.
Pemicu utama perilaku ini, sebagaimana disebutkan dalam ayat, adalah iri hati atau ketamakan terhadap kelebihan pihak lain: "karena (hanya karena) ada satu golongan yang lebih banyak jumlahnya daripada golongan yang lain." Dalam sejarah Islam, ini sering dikaitkan dengan perpecahan atau penghianatan yang didorong oleh rasa iri terhadap kemakmuran atau jumlah pengikut kelompok lain. Hal ini mengajarkan kita bahwa ukuran kebenaran atau keberhasilan bukanlah berdasarkan kuantitas atau popularitas, melainkan berdasarkan keteguhan pada prinsip.
Allah SWT kemudian memberikan perspektif Ilahiah atas ujian ini: "Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu." Ini menegaskan bahwa kesulitan, perbedaan jumlah, dan godaan untuk mengingkari janji adalah bagian dari ujian ketakwaan. Apakah kita akan tetap teguh pada kebenaran meskipun kita minoritas, ataukah kita akan mengikuti arus demi keuntungan sementara?
Ayat ini ditutup dengan janji kepastian: "Dan Dia pasti akan menjelaskan kepadamu pada hari Kiamat tentang apa yang dahulu kamu perselisihkan." Janji ini menjadi penenang sekaligus peringatan keras. Dunia mungkin tidak mampu memberikan keadilan sepenuhnya atas pengkhianatan sumpah atau pemutarbalikan fakta. Namun, di hadapan Allah kelak, setiap perbedaan pendapat, setiap sumpah palsu, dan setiap benang yang sengaja diuraikan akan dipertanggungjawabkan secara tuntas dan adil.
Dalam kehidupan modern, An-Nahl 92 relevan dalam konteks perjanjian bisnis, integritas dalam bersaksi, dan konsistensi dalam memegang teguh prinsip moral saat menghadapi tekanan kelompok atau mayoritas. Penting untuk menyadari bahwa membangun reputasi dan keyakinan membutuhkan waktu dan upaya yang konsisten (seperti memintal benang), tetapi dapat hancur seketika jika didasari oleh kebohongan atau hasad (seperti menguraikannya). Kepercayaan, baik kepada sesama manusia maupun kepada janji Allah, harus dijaga dengan ketulusan tertinggi, karena perhitungan akhir adalah pasti.