Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu, berasal dari daerah Sunda, Jawa Barat. Alat musik ini memiliki keunikan tersendiri karena cara memainkannya yang sederhana namun menghasilkan harmoni yang merdu. Setiap batang bambu pada angklung memiliki nada tertentu, dan ketika digoyangkan, batang bambu tersebut bergetar dan menghasilkan suara. Angklung biasanya dimainkan secara ensemble, di mana setiap pemain memegang satu atau beberapa nada, dan bersama-sama menciptakan sebuah lagu.
Asal usul angklung diperkirakan telah ada sejak zaman Kerajaan Sunda (abad ke-12 hingga ke-16). Konon, angklung awalnya digunakan oleh para petani sebagai bagian dari ritual dalam menanam padi. Suara angklung dipercaya dapat memanggil Dewi Sri, dewi kesuburan dalam kepercayaan masyarakat Sunda, agar tanaman padi tumbuh subur. Selain itu, angklung juga digunakan untuk mengusir hama dan sebagai sarana komunikasi antar masyarakat.
Seiring waktu, angklung tidak hanya terbatas pada ritual keagamaan atau kesuburan. Alat musik ini mulai berkembang dan dimainkan dalam berbagai acara adat, upacara keagamaan, perayaan panen, hingga hiburan. Pada abad ke-20, angklung mulai dikenal lebih luas di luar lingkungan Sunda berkat jasa seorang tokoh bernama Daeng Soetigna. Beliau melakukan inovasi dengan mengembangkan angklung pada bilah nada diatonis (mayor), sehingga angklung bisa dimainkan bersama alat musik modern lainnya dan memainkan lagu-lagu internasional.
Proses pembuatan angklung memerlukan keterampilan khusus dan pemilihan bambu yang tepat. Bambu yang umum digunakan adalah jenis bambu ater (awug) atau bambu gendang, yang memiliki kualitas suara baik dan tidak mudah pecah. Batang bambu dipotong sesuai dengan nada yang diinginkan, lalu dibentuk sedemikian rupa agar dapat bergetar saat digoyangkan. Bilah-bilah bambu ini kemudian disusun dalam sebuah bingkai kayu.
Memainkan angklung membutuhkan koordinasi dan kepekaan pendengaran yang baik. Pemain tidak memetik atau memukul, melainkan menggoyangkan angklung. Gerakan menggoyangkan harus dilakukan dengan tepat, yaitu dari bawah ke atas atau sebaliknya, agar bunyi yang dihasilkan optimal. Setiap angklung biasanya menghasilkan dua atau tiga nada yang berbeda dalam satu tabung. Untuk memainkan melodi, beberapa angklung dengan nada yang berbeda dimainkan secara bergantian dan berurutan oleh beberapa pemain.
Angklung bukan sekadar alat musik, melainkan juga merupakan warisan budaya tak benda. Pada tahun 2010, UNESCO secara resmi mengakui angklung sebagai Warisan Budaya Dunia dari Indonesia. Pengakuan ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia dan semakin mendorong upaya pelestarian angklung.
Di bidang pendidikan, angklung memiliki peran yang signifikan. Pembelajaran angklung dapat melatih kecerdasan musikal, keterampilan motorik, kerjasama tim, serta menanamkan rasa cinta terhadap budaya lokal. Banyak sekolah di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, yang memasukkan angklung sebagai bagian dari kurikulum seni musik.
Selain itu, keberadaan angklung juga membuka peluang ekonomi melalui industri kerajinan tangan dan pertunjukan seni. Berbagai kelompok angklung terus bermunculan, baik yang fokus pada repertoar tradisional maupun modern, bahkan seringkali tampil di panggung internasional, membuktikan bahwa 1 angklung pun, ketika dipadukan dengan harmonisasi yang tepat, dapat menciptakan keajaiban musik yang mendunia.
Keunikan suara angklung yang sederhana namun menawan, serta filosofi kebersamaan yang terkandung di dalamnya, menjadikan alat musik ini terus relevan dan dicintai oleh generasi kini dan mendatang. Angklung adalah cerminan kekayaan budaya Indonesia yang patut kita banggakan dan lestarikan.